Menurut Marzuki di Jakarta, Rabu, jika memang bukti-bukti yang ditunjukkan masyarakat kepadanya kuat maka seharusnya PTPN III mengembalikan lahan tersebut kepada warga masyarakat pemilik asli lahan kersebut.
"Saya sudah bicara dengan pihak BPN yang mengeluarkan HGU kepada PTPN III atas tanah milik warga. Kalau memang ada ketidakberesan dalam proses pemberian HGU itu, maka saya minta BPN mengoreksinya dan PTPN III mengembalikan lahan tersebut kepada pemiliknya yang sah," ujar Marzuki dalam pertemuan mediasi antara warga masarakat dan BPN di Gedung DPR Jakarta.
Menurut Marzuki, pihak BPN melalui Ketua BPN Hendardji Supandji sebenarnya sudah mengetahui permasalahan ini. Hendardji pun telah menyetujui dilakukannya eksaminasi atas kasus sengketa tanah tersebut.
"Seharusnya pihak BPN yang diwakili oleh salah seorang deputinya membawa hasil investigasi mereka atas kasus tersebut, namun ternyata yang mereka bawa justru upaya perpanjangan HGU. Ini bertentangan dengan pernyataan ketua BPN," katanya.
Karena itu, Marzuki pun mendapatkan ketegasan bahwa dalam waktu paling lama tiga minggu mendatang, pihak BPN akan membawa hasil investigasi mereka. "Mereka janji paling lama tiga minggu hasil investigasi akan mereka bawa. Sejauh yang saya lihat, yang salah memang pihak PTPN, tapi kita lihat saja apa bukti-bukti yang dibawa masyarakat asli atau tidak," katanya.
Sementara itu, salah satu perwakilan warga yang hadir pada pertemuan itu, Suwarno mengatakan, kasus ini sebenarnya murni penyerobotan di era Orde Baru. Bukti-bukti yang dimiliki masyarakat juga sudah sangat kuat.
Dia mengemukakan bahwa HGU yang dikeluarkan untuk PTPN III tahun 1995, padahal PTPN sudah beroperasi di daerah tersebut sudah sejak tahun 1988.
"Ini artinya sejak tahun 1988, sampai tahun 1995 mereka tidak bayar pajak. Seluruh instansi sudah menyatakan tanah itu adalah tanah kami, mengapa mereka masih ngotot saja mempertahankan apa yang bukan menjadi hak mereka," katanya.
Selain itu, luas tanah yang mereka miliki tidak bertambah seperti yang terlihat dari sertifikat, tapi peta mereka bertambah. "Ini kan aneh karena tanah yang masuk peta dan tidak masuk dalam sertifikat adalah tanah kami," katanya.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014