untuk mencegah para pemula dalam mengkonsumsi rokok terdapat tiga strategi seperti zero access melalui larangan penjualan dalam radius 200 m dari satuan pendidikan dan tempat bermain.
Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama dengan Yayasan Lentera Anak, dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) serta Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) meminta Pemerintah untuk segera menyetujui aturan kemasan standar untuk produk rokok.
Menurut Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari bahwa aturan tersebut sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya perokok pemula agar tidak memiliki keinginan untuk mencoba produk tembakau tersebut.
Saat ini, pemerintah telah menggodok rencana atau aturan tersebut di Kementerian kesehatan (Kemenkes) sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
“Tercantum di dalam pasal 430 PP 28 Tahun 2024, tujuan kebijakan ini adalah untuk menurunkan prevalensi merokok dan mencegah perokok pemula,” kata Lisda Sundari melalui keterangan resminya, Selasa.
Menurut dia, untuk mencegah para pemula dalam mengkonsumsi rokok terdapat tiga strategi seperti zero access melalui larangan penjualan dalam radius 200 m dari satuan pendidikan dan tempat bermain.
Selanjutnya pengaruh pemasaran dan promosi misalnya dengan aturan larangan iklan di media sosial, making tobacco less attractive dengan aturan PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar) 50 persen, kemasan standar, hingga perlu adanya larangan campuran bahan tambahan perisa dalam rokok.
Tentu, aturan tersebut dan juga strategi tersebut sejalan dengan misi dari pemerintah yang menginginkan adanya penekanan prevalensi perokok di Indonesia demi meningkatkan kualitas kesehatan penduduk Indonesia.
”Dengan penurunan konsumsi tembakau, terutama pada kalangan pemuda, maka produktivitas masyarakat kita akan meningkat dan roda ekonomi akan berputar dan terus tumbuh. Studi CISDI tahun 2019 menunjukkan beban ekonomi akibat konsumsi tembakau mencapai Rp 27,6 T,” ucap Project Lead CISDI, Beladenta Amalia.
Tidak hanya itu saja, dia juga menambahkan bahwa kesehatan itu sebenarnya tidak berbenturan dengan kepentingan ekonomi. Karena buktinya dari segi ekonomi, ada beban biaya akibat dari rokok.
Kondisi yang dijelaskan Beladenta sudah semestinya direspon cepat oleh Pemerintah untuk membuat kebijakan yang efektif untuk menekan perilaku merokok di masyarakat, salah satunya dengan aturan kemasan standar.
Seperti yang kita ketahui, kemasan produk tembakau dan rokok elektronik di Indonesia saat ini masih menganut “branding packaging” sehingga kemasan-kemasan yang beredar sangat menonjolkan brand (merek) setiap produk, dengan desain grafis dan berbagai elemen seperti ilustrasi kartun dan sebagainya untuk menarik pelanggan, termasuk pelanggan baru.
Pengurus Bidang Hukum dan Advokasi Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbyanto dengan tegas juga menginginkan agar pemerintah segera menyelesaikan pembahasan dan menerapkan kebijakan tersebut demi masa depan yang lebih sehat bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Penerapan kemasan standar melalui RPMK (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan) tentang produk tembakau dan rokok elektronik yang sedang dibahas di Kementerian Kesehatan merupakan langkah strategis dan efektif yang pro perlindungan masyarakat, terutama anak,” tegas dia.
Dari pihak YLKI sendiri melalui Ketua Pengurus Hariannya yakni Tulus Abadi, menegaskan bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 dan juga RPMK sudah sangat on the track dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat Indonesia.
“Anggapannya aturan ini menjadi bridging bagi pemerintah yang gembar-gembor Indonesia Emas 2045. Bagaimana Indonesia Emas 2045 bisa tercapai jika masih ada permasalahan rokok ini. RPMK ini sebagai pelaksanaan mandat dalam PP Kesehatan dan sebagai upaya denormalisasi rokok dan industri rokok. Dengan PP 28, membuat kita untuk denormalisasi rokok,” tegasnya.
Hanya saja, aturan ini mendapatkan berbagai tentangan dari berbagai pihak yang merasa dirugikan seperti perwakilan industri rokok, kelompok riset, serta kelompok pendukung industri dan afiliasinya, bahkan bagian dari Pemerintah sendiri. Penolakan juga datang dari Komisi IX DPR RI yang seharusnya memiliki perspektif kesehatan yang kuat.
Baca juga: Legislator curigai intervensi perusahaan rokok global dalam RPMK
Baca juga: Pakar: Implementasi PP 28 terkait larangan rokok butuh peran pemda
Baca juga: PDPI: Rokok elektronik bisa jadi bom waktu beberapa tahun ke depan
Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2024