Jakarta (ANTARA News) - Jika di Indonesia sudah ada lima juta orang memakai komputer, lalu 80 persen di antaranya menggunakan software bajakan, berarti hanya ada empat juta unit komputer yang bisa dikategorikan ilegal, sehingga istilah negara pembajak terbesar di dunia tak pantas disandang. "Ini wajar-wajar saja, karena Indonesia memang baru berada pada stage 1 dalam penggunaan information communication technology (ICT). Di negara-negara yang telah berada pada stage 7 saja seperti Amerika dan Jepang, juga masih ada pengunaan software bajakan. Mungkin antara 20 hingga 30 persen. Jika Amerika memiliki 100 juta komputer, berarti kan ada 20 juta komputer memakai software bajakan," kata Ketua Komisi I DPR RI, Theo L Sambuaga (FPG), saat bertemu dengan rombongan US-ASEAN Business Council, di ruang sidang Komisi I DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis. Theo Sambuaga mengungkapkan itu, untuk merespons pernyataan President US-ASEAN Business Council, Matthew Daley, di hadapan pimpinan dan anggota Komisi I DPR mengenai salah satu maksud utama kunjungan delegasinya ke Indonesia, ialah mengumpulkan informasi sedetil-detilnya tentang pelaksanaan hak kekayaan intelektual (HAKI). Bersama Matthew Daley, hadir pula sejumlah eksekutif dari perusahaan-perusahan informasi, komunikasi dan media raksasa di dunia, antara lain Chris Atkinson (President of Souteast Asia Microsoft Corporation), Hugh Stephens (Senior Vice President, International Relations & Public Policy, Asia Pasifik Time Warner), Joe Welch (Senior VP, Government Affairs News Corporation/Star TV), Tan Lee Chew (Managing Director Hewlettt-Packard) serta Robert Kayatoe (Busines Strategy & Development Director Oracle Corportation). "Ada beberapa hal dan isu-isu penting yang kami ingin dapatkan selama beberapa hari di Indonesia, termasuk dari parlemen, juga beberapa menteri. Kami juga mengadakan workshop tentang pembangunan infrastruktur ICT dengan pebisnis lokal," kata Matthew Daley, mantan Asisten Menlu AS untuk wilayah Asia Pasifik serta staf senior di National Security Council of USA. Theo Sambuaga menjamin Indonesia telah melakukan tindakan-tindakan signifikan untuk penegakkan HAKI. Bahkan hal itu dilakukan di tingkat tinggi, yaitu para menteri. "Kami membuat tim penegakkan HAKI yang dipimpin langsung oleh seorang menteri koordinator, yakni Menko Polhukam dengan anggota beberapa menteri terkait. Sejak tahun 2004 telah dilakukan kampanye software legal, termasuk penggunaan software-software alternative, seperti open source," ungkap Theo Sambuaga yang didampingi dua wakil ketua komisi, masing-masing Tosari Widjaja (FPP) dan Soetadi(FPD). Software Mahal Sementara itu, Tosari Widjaja antara lain menunjuk mahalnya harga software sebagai penyebab munculnya produk-produk bajakan. "Di Thailand dan China, harga software Microsoft relative murah, yaitu sekitar 20 sampai 35 dolar AS. Di Indonesia, mencapai angka 75 dolar AS, sama dengan harga yang berlaku di Amerika," ungkap Tosari Widjaja. Dikatakannya, selain harga yang mahal, rendahnya penggunaan ICT di Indonesia dibanding negara lain di Asia, khususnya ASEAN, karena daya beli belum memadai juga faktor tingkat pendidikan mayoritas warga. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Dedy Djamaluddin Malik, dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 13 eksekutif perusahaan-perusahaan besar dari Amerika Serikat itu, mengatakan, selain soal HAKI, problem di bidang pengembangan industri ICT dan media (termasuk televisi) di Indonesia, menyangkut perizinan serta prosentase kepemilikan asing. "Sekarang masih ada problem antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) soal perizinan. Sedangkan soal kepemilikan yang dibatasi pada angka 20 persen pihak asing, telah menjadi problem dalam pengembangan industri ICT dan media," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006