Gaza (ANTARA News) - Seorang pemimpin kelompok Hamas menuduh Presiden Mahmoud Abbas dari partai Fatah telah membahayakan kesepakatan rekonsiliasi pada Selasa, hanya sepekan setelah terbentuknya pemerintah gabungan antara dua faksi berseteru di Palestina.
Persoalan antara kedua pihak muncul setelah pemerintah gabungan Palestina tidak membayar gaji 40.000 pegawai negeri sipil yang diangkat oleh Hamas di Gaza, menyatakan para pegawai harus menjalani pemeriksaan terlebih dahulu sebelum menerima gaji mereka.
Ketegangan itu bergeser ke Tepi Barat pada Senin, ketika Hamas mengatakan bahwa pasukan keamanan yang setia pada Abbas telah menggunakan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi yang diorganisir oleh gerakan dan menghina ulama senior Hassan Youssef.
Sebelum pemerintah gabungan terbentuk, Hamas adalah partai yang berkuasa di Gaza sejak 2007 sementara Fatah membentuk pemerintahan terpisah bernama Otoritas Palestina di Tepi Barat.
"Sejak pakta rekonsiliasi ditandatangani, kesenjangan kita dan Fattah dan pasukan keamanan makin besar," kata Youssef di Kota Ramallah, Selasa (10/6).
"Ini bukan persatuan. Mereka melakukan ini untuk menekan kami untuk mengatakan kami tidak ingin rekonsiliasi. Kami menginginkan rekonsiliasi," kata pejabat Hamas itu, menuduh polisi-polisi Abbas menyita bendera dan menahan kelompok pendukung.
Seorang sumber keamanan di Tepi Barat mengatakan bahwa polisi mulai mengintervensi pengunjuk rasa setelah mereka mengumandangkan slogan-slogan menentang Otoritas Palestina.
Sementara Fatah menuduh aktivis Hamas telah menyerang pendukungnya di kota Hebron, Tepi Barat, pada Selasa dan sehingga menyebabkan empat orang harus dirawat di rumah sakit.
Seorang pejabat senior dari Fatah, Azam al-Ahmad, mengatakan bahwa keterlambatan pembayaran gaji PNS bukan merupakan kesalahan pemerintah gabungan. Dia mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan waktu empat bulan untuk menyelesaikan proses pemeriksaan pegawai dari Gaza.
"Kami menegaskan kepercayaan terhadap pemerintah gabungan dan menolak upaya untuk memunculkan keraguan terhadapnya... Pemerintah tidak bertanggung jawab atas persoalan terbaru (penundaan pembayaran gaji)," kata dia seperti dilansir kantor berita Reuters.
Ketegangan meningkat di Gaza karena saat pegawai Hamas belum dibayar, staf yang terikat dengan Otoritas Palestina tetap menerima gaji.
Setelah Hamas mengambil alih kekuasaan di Gaza pada 2007, pihak Otoritas Palestina di Tepi Barat tetap membayar gaji 70.000 pegawainya di Gaza meskipun sebagian besar dari mereka tidak lagi bekerja.
Sebelumnya otoritas Israel mendesak masyarakat internasional untuk tidak mengakui pemerintah gabungan Fatah-Hamas.
Meskipun demikian sejumlah negara Barat, termasuk Amerika Serikat, telah menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Palestina yang baru. (Uu.G005)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014