Jakarta (ANTARA) - Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridwan Effendi menilai tingkat pendidikan masyarakat pengguna yang masih rendah menjadi salah satu faktor penyebab praktik RT/RW Net masih marak.

RT/RW Net ilegal dapat dikatakan sebagai praktik menjual kembali bandwidth internet pada wilayah tertentu tanpa adanya izin atau perjanjian kerja sama dengan penyedia layanan internet (ISP).

"Kenapa RT RW Net ilegal masih banyak? Pertama memang faktor pendidikan masyarakat penggunanya masih rendah," ujar Ridwan di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen layanan internet.

Baca juga: BPKN: Praktik RT/RW Net ilegal tidak beri perlindungan konsumen

Mereka cenderung menerima begitu saja ketersediaan internet tanpa mempertanyakan standar kualitas yang seharusnya diterima. Hal ini membuat layanan ilegal tetap mendapat tempat di masyarakat, meski kualitasnya belum tentu memenuhi standar.

Dia menilai, kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak untuk mendapatkan layanan berkualitas, berdampak pada toleransi terhadap layanan internet yang disediakan oleh penyelenggara ilegal.

Masyarakat belum menyadari bahwa kecepatan dan kualitas koneksi yang mereka terima sebenarnya bisa lebih baik jika menggunakan penyedia layanan resmi.

"Jadi karena memang masyarakatnya yang belum mengerti tentang hak dan kewajiban, maka yang ilegal ini masih diserap," ucap dia.

Kendala lainnya, lanjut Ridwan, adalah hambatan yang dialami oleh operator resmi untuk menembus beberapa area, termasuk di perkotaan. Di beberapa kompleks, operator resmi sulit masuk karena aksesnya hanya dikuasai oleh penyelenggara lokal.

Baca juga: Kemenkominfo terapkan dua pendekatan tangani RT/RW Net ilegal

Meskipun Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengatur kemudahan akses bagi operator, kenyataannya hambatan ini masih sering ditemui di lapangan.

"Nah ini tentunya butuh dukungan dari regulator dan penegak hukum bahwa ini sudah diatur sesungguhnya. Akses masuk ke daerah, ke lokasi-lokasi di mana ada pelanggan itu dilindungi oleh Undang-Undang sehingga kalau hambatan atau rintangan ini masih ada ya operator resmi akan sulit untuk bersaing dengan penyelenggara RT/RW Net yang ilegal," kata Ridwan.

Ridwan menilai bahwa tanggung jawab utama dalam penanganan masalah ini berada di tangan pemerintah atau regulator. Sosialisasi terkait layanan, kualitas, dan tarif yang transparan harus terus ditingkatkan agar masyarakat semakin memahami pilihan layanan yang lebih baik.

Untuk menekan keberadaan RT/RW Net ilegal, Ridwan juga menyoroti pentingnya pendidikan masyarakat secara masif. Platform media sosial dan konten kreator dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi yang menarik dan edukatif tentang layanan internet.

Selain itu, insentif bagi pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang akses internetnya masih sulit, terutama di luar Pulau Jawa, juga perlu diprioritaskan.

"Bukan hanya di pedesaannya, di perkotaan pun sebetulnya masih sulit akses," pungkas Ridwan.

Terkait penindakan terhadap RT/RW Net ilegal, Ridwan berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan melakukan penertiban. Langkah tegas berupa penghukuman perlu diterapkan agar dampak jera lebih dirasakan oleh para pelanggar regulasi.

Baca juga: APJII: Kerja sama dengan Polda NTB upaya lindungi ekosistem PJI resmi

Baca juga: APJII desak Kemkominfo konsisten tertibkan ISP ilegal

 

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024