Pemerintah meyakini hilirisasi bioetanol berbasis tebu membuka peluang menciptakan ketahanan energi
Jakarta (ANTARA) - Di tengah masyarakat dunia yang makin sadar terhadap perubahan iklim, Indonesia dalam satu dekade terakhir membangun komitmen untuk bertransisi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil menuju era energi baru dan terbarukan.

Ini bukan sekadar janji, melainkan sebuah perjalanan transformatif yang akan membentuk masa depan bangsa sekaligus menjadi warisan energi bersih bagi generasi mendatang. Presiden Joko Widodo, dengan penuh keyakinan, telah mengumumkan percepatan ambisi transisi energi Indonesia di panggung dunia. Matahari, angin, air, panas bumi, dan bahkan arus laut, semuanya akan diubah menjadi sumber energi yang menghidupi negeri.

Indonesia berkomitmen untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru dan terbarukan sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, memenuhi Perjanjian Paris, dan mencapai target emisi nol bersih pada 2060.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam Konferensi Iklim COP28 di Dubai pada Desember 2023, menyatakan bahwa Indonesia telah mempercepat ambisi transisi energi tersebut dengan, antara lain, memanfaatkan energi surya, angin, air, panas bumi, dan arus laut selain mempercepat pengembangan biodiesel, bioetanol, dan bioavtur.

Indonesia akan mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap, sambil mencari solusi untuk mengatasi dampak sosial yang mungkin terjadi akibat perubahan ini. Hal ini mengingat batu bara masih menjadi sumber energi utama dalam menjaga keandalan sistem kelistrikan nasional.

Presiden Jokowi juga menyampaikan, negara berkembang seperti Indonesia memerlukan pendanaan besar untuk mempercepat transisi energi. Indonesia disebutkan membutuhkan investasi lebih dari 1 triliun dolar AS untuk mencapai net zero emission pada 2060.

“Indonesia mengundang kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, filantropi, dan dukungan negara-negara sahabat. Kami memiliki platform pembiayaan inovatif yang kredibel, bursa karbon, mekanisme transisi hijau, sukuk, dan obligasi hijau, pengelolaan dana lingkungan hidup dari result based payment,” ujar Presiden.

 

Kebijakan transisi energi

Sejak meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015, Indonesia telah menjadikan transisi energi sebagai salah satu prioritas utama dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau, dan pencapaian target emisi nol bersih.

Sejalan dengan komitmen internasional dalam Perjanjian Paris, Pemerintah telah secara aktif merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan yang mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah menetapkan target bauran energi primer nasional sebagai berikut. Pertama, pemanfaatan EBT mencapai minimal 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.


 

Kedua, pemanfaatan minyak bumi harus kurang dari 25 persen pada 2025 dan 20 persen pada 2050. Ketiga, pemanfaatan batu bara minimal 30 persen pada 2025 dan minimal 25 persen pada 2050. Terakhir, pemanfaatan gas bumi minimal 22 persen pada 2025 dan 24 persen pada 2050.

Selain itu, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Regulasi tersebut mengatur percepatan pengakhiran masa operasional PLTU dan larangan pengembangan PLTU batu bara baru, kecuali proyek-proyek yang telah tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021--2030.

Untuk mencapai target emisi nol pada 2060, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menyusun peta jalan transisi energi.

Rencana transisi energi Indonesia mencakup berbagai strategi komprehensif, seperti pengembangan masif energi terbarukan, penghentian bertahap PLTU batu bara, penerapan teknologi bersih seperti CCS/CCUS, serta peningkatan penggunaan kendaraan listrik.

Pemerintah menargetkan seluruh kebutuhan listrik pada 2060 akan dipenuhi oleh energi baru dan terbarukan (EBT), dengan tenaga surya menjadi kontributor utama mencapai kapasitas 421 GW dari total kapasitas pembangkit listrik EBT sebesar 708 GW.

Penutupan PLTU akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa kontrak, dan tidak ada rencana penambahan kapasitas baru setelah tahun 2030. PLTU terakhir diperkirakan akan berhenti beroperasi pada 2058.

Pemerintah saat ini sedang menyusun peta jalan pemensiunan dini PLTU berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022.

Sebanyak 13 PLTU direncanakan dipensiunkan secara dini dengan mempertimbangkan keekonomian serta tidak menimbulkan gejolak kekurangan pasokan dan kenaikan harga listrik. Namun, Pemerintah belum menentukan kapan dan PLTU mana saja yang akan dipensiundinikan.

Selain menutup PLTU, Indonesia juga mengadopsi teknologi co-firing di PLTU, yakni pencampuran bahan bakar batu bara dengan biomassa, yang berasal dari perkebunan sawit dan sumber lainnya. Skema ini telah diterapkan di 33 dari 48 PLTU yang sedang diuji coba.
 

 

Untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, Indonesia berencana membangun jaringan listrik super grid dan smart grid. Jaringan ini akan menghubungkan sistem kelistrikan antarpulau sehingga energi bersih yang dihasilkan di satu daerah dapat didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah membuat langkah signifikan menuju transisi hijau. Pada November 2022, Indonesia meluncurkan dua inisiatif transisi energi yang ambisius, Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), dalam pertemuan G20.

ETM diperkirakan akan mengalokasikan dana senilai 500 juta dolar AS dan memobilisasi lebih dari 4 miliar dolar AS, sementara JETP akan memobilisasi dana awal sebesar 20 miliar dolar AS untuk mendukung transisi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Pemerintah mengatakan total potensi energi terbarukan Indonesia adalah sebesar 3.600 GW, dengan potensi terbesar berasal dari energi surya yang mencapai 3.286 GW. Namun, pemerintah mencatat hingga saat ini pemanfaatannya masih di bawah 1 persen.

Menurut data Dewan Energi Nasional (DEN), bauran EBT nasional terus meningkat selama periode 2015-2022. Pada 2015, bauran EBT nasional hanya sekitar 4,40 persen, hingga akhirnya meningkat menjadi 12,3 persen pada 2022.

Walaupun pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat, ketergantungan pada bahan bakar fosil masih sangat tinggi, mencapai 86 persen. Saat ini, hampir 60 persen atau sekitar 91 GW pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada batu bara.

Data DEN menunjukkan bahwa kontribusi batu bara dalam bauran energi primer nasional terus meningkat dari tahun ke tahun selama periode 2015-2023, mencapai puncaknya pada 2023 dengan persentase mencapai 40,46 persen.

Persentase bauran energi tertinggi pada 2023 juga didominasi oleh minyak bumi (30,18 persen), gas bumi (16,28 persen), sedangkan EBT 13,09 persen.

 

Pengembangan bioetanol

Salah satu contoh nyata dari upaya transisi energi yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir adalah pengembangan industri tebu untuk menghasilkan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) untuk bahan bakar kendaraan.

Pemerintah meyakini hilirisasi bioetanol berbasis tebu membuka peluang menciptakan ketahanan energi, mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak, sekaligus menciptakan bauran energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.

Regulasi tentang pengembangan tebu untuk bioetanol ini sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (biofuel).

 

Presiden Jokowi pada 4 November 2022 juga telah meluncurkan program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero), Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Presiden berharap program bioetanol ini dapat berjalan secara bertahap, dimulai dari bioetanol 5 persen (E5), kemudian meningkat menjadi E10, E20, dan seterusnya.

Program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi diproyeksikan dapat menjadi solusi peningkatan jumlah produksi bioetanol nasional dari 40 ribu kiloliter pada 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter pada 2030.

Implementasi bioetanol sebagai campuran BBM telah dimulai oleh Pertamina melalui peluncuran produk Pertamax Green 95 pada 2023. Saat ini sudah ada sekitar 80 SPBU yang melayani produk campuran 95 persen bensin dan 5 persen bioetanol.

 

Inisiatif dan proyek EBT

Selain fokus pada pengembangan bioetanol dari tebu, Pemerintah juga cukup gencar mendorong pembangunan proyek EBT dalam upaya meningkatkan bauran energi terbarukan dan kesejahteraan masyarakat.

Seperti yang dilakukan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana pemasangan PLTS off-grid berkapasitas 2.920 kWp atau 2,9 MW oleh PT PLN sejak 2019 telah memberikan akses listrik bagi ribuan rumah tangga dan mendukung berbagai aktivitas ekonomi.

Tidak hanya di Labuan Bajo, pemanfaatan energi bersih juga memberikan dampak positif di wilayah Indonesia lainnya, seperti Desa Oelpuah, Kupang Tengah, NTT.

Pemasangan PLTS Kupang berkapasitas 5 MWp yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Desember 2015 itu memberikan kontribusi sekitar 4 persen dari total kebutuhan listrik Pulau Timor.

Demikian juga dengan pembangunan PLTS Terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, yang telah diresmikan pada November 2023. PLTS ini diklaim sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dan ketiga di dunia.

Proyek PLTS Terapung Cirata tidak hanya menghasilkan listrik bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal di bidang energi terbarukan. Dengan melibatkan 1.400 pekerja lokal, proyek ini diyakini dapat menjadi langkah awal yang baik untuk pengembangan proyek serupa di masa depan.

Dengan pengalaman yang diperoleh dari proyek Cirata, para pekerja lokal diharapkan siap untuk terlibat dalam proyek-proyek PLTS terapung lainnya yang direncanakan oleh PLN, termasuk PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Jawa Barat dan PLTS Singkarak di Danau Singkarak, Sumatera Barat.

Keberhasilan-keberhasilan ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk terus memperluas pemanfaatan energi bersih sehingga target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris dapat tercapai.

 

Hadapi tantangan

Kendati demikian, di tengah pencapaian-pencapaian tersebut, Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam mempercepat transisi energi. Salah satu tantangan tersebut adalah keberadaan kontrak jangka panjang antara PLN dan berbagai perusahaan pembangkit listrik berbasis batu bara dengan skema take or pay.

Pembatalan sepihak atas kontrak-kontrak tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi finansial yang sangat signifikan bagi PLN.

Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan juga memerlukan investasi tambahan untuk memperkuat jaringan listrik. Jaringan listrik yang ada saat ini belum sepenuhnya siap untuk menampung fluktuasi pasokan energi dari sumber terbarukan.

Produksi listrik dari PLTS Cirata, misalnya, sangat fluktuatif dan bergantung pada kondisi cuaca. Untuk menjaga kestabilan sistem kelistrikan, diperlukan sumber energi konvensional sebagai cadangan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa infrastruktur jaringan listrik saat ini belum memadai untuk mengakomodasi energi terbarukan secara optimal. Peningkatan kapasitas dan modernisasi jaringan listrik menjadi suatu keharusan, namun tentunya akan membutuhkan investasi yang sangat besar.

Data Pemerintah menunjukkan bahwa investasi di sektor EBT pada 2021, 2022, dan 2023 hanya berkisar antara 1,4 hingga 1,5 miliar dolar AS. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan investasi di sektor migas yang mencapai 15,9 miliar dolar AS pada 2021 dan 15,6 miliar dolar AS pada 2023.

Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, Indonesia tidak dapat menunda lagi peralihan ke energi bersih. Pemerintahan mendatang harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah tertunda sejak lama untuk menciptakan kerangka hukum yang kuat bagi pengembangan sumber energi terbarukan dan mempercepat tercapainya target emisi nol bersih.

RUU EBET juga berperan krusial dalam menciptakan kerangka hukum yang solid untuk menarik investasi di sektor energi bersih  sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau secara lebih luas.

Transisi energi merupakan proses yang kompleks dan menuntut komitmen jangka panjang. Di satu sisi, Pemerintah perlu memastikan akses energi yang terjangkau dan andal bagi seluruh masyarakat. Di sisi lain, upaya transisi energi harus terus digalakkan untuk mencapai target keberlanjutan lingkungan.

Kebijakan yang memperhatikan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pelatihan kerja, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian tak terpisahkan dari transisi agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak.

Untuk itu, pemerintahan ke depan harus memiliki komitmen politik yang kuat untuk mempercepat transisi energi dan menjadikan isu iklim sebagai prioritas utama dalam semua kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah.

 

Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 85 Jokowinomics. Selengkapnya bisa dibaca Di Sini

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024