Jakarta (ANTARA) - Kampung Cempluk yang berada di Dusun Sumberjo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, telah berhasil dan ajek menyelenggarakan festival tahunan yang merupakan ajang ekspresi kegembiraan warga, sekaligus menjadi suguhan hiburan tidak hanya bagi warga kampung itu, melainkan juga warga lain, bahkan dari kota lain.
"Kampung Cempluk Festival" tidak hanya menjadi panggung perayaan kebudayaan, tetapi juga memicu perputaran ekonomi yang signifikan di tengah masyarakat. Aktivasi sosial-budaya yang berlangsung selama sepekan penuh terbukti menciptakan peluang-peluang ekonomi yang tumbuh secara organik, memberikan dampak langsung bagi warga kampung.
Kegiatan ekonomi yang menggeliat di sepanjang festival mencerminkan bagaimana kebudayaan dan ekonomi dapat berjalan seiring, saling memperkuat satu sama lain.
Setiap gelaran festival, banyak warga yang berpartisipasi melalui berbagai aktivitas ekonomi, mulai dari membuka kios makanan tradisional, menjual kerajinan tangan, hingga menyediakan jasa parkir dan akomodasi sederhana bagi pengunjung yang datang dari luar kampung.
Aktivitas perdagangan ini memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga-keluarga kampung, sekaligus menjadi cara untuk mempromosikan produk lokal kepada khalayak yang lebih luas. Produk-produk unggulan kampung, seperti hasil kerajinan, makanan khas, hingga hasil bumi, mendapatkan tempat istimewa dalam festival, menciptakan rasa bangga bagi warga karena produk mereka diapresiasi dan diminati oleh banyak orang.
Data yang dikumpulkan panitia dari para pedagang makanan (cenil, jajanan kampung, nasi empok, serabi dan lainnya) menunjukkan, setiap orang mampu mengumpulkan keuntungan rata-rata Rp500.000 setiap malam. Pada festival tahun ini ada 150 lapak, sehingga keuntungan total yang diperoleh warga yang menjajakan dagangannya sebesar Rp75.000.000. Jika dikalikan selama 7 malam, maka total mencapai Rp525.000.000.
Bukan hanya pendapatan dari menjajakan dagangan, kampung itu juga mengumpulkan Rp5.200.000 setiap malam dari tarif parkir di dua rukun warga (RW) atau total Rp36.100.000 selama 7 malam. Dari keuntungan jualan dan tarif parkir, maka uang yang masuk ke kampung tersebut mencapai Rp575.000.000.
Tidak hanya warga lokal, festival itu juga menarik minat pelaku usaha kecil dari sekitar kampung, yang turut ambil bagian dalam ekosistem ekonomi musiman ini. Pergerakan ekonomi yang dihasilkan dari festival ini menjadi wadah untuk menciptakan kolaborasi lintas kampung dan daerah, mempertemukan warga dari berbagai latar belakang dalam jejaring ekonomi yang saling menguntungkan.
Fakta ini tidak hanya membawa dampak ekonomi, tapi juga mampu memperkuat simpul-simpul sosial di dalam masyarakat, karena terjadi pertukaran dan kerja sama yang intensif antarwarga, baik secara personal maupun kolektif.
Salah satu aspek penting dari perputaran ekonomi di festival ini adalah bagaimana dampak ekonomi tersebut tidak sekadar terpusat pada keuntungan material, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di dalam kampung.
Melalui interaksi yang terjadi antarpara pedagang, pembeli, pelaku seni, dan pengunjung, terbentuklah jaringan sosial yang semakin solid. Ikatan ini menjadi pengikat yang organik di antara warga kampung, di mana mereka belajar untuk saling mendukung, berbagi keuntungan, serta merayakan keberhasilan bersama-sama.
Festival ini juga memberikan pelajaran berharga tentang ekonomi yang inklusif dan berbasis komunitas. Setiap warga, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial, memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi ini.
Perputaran uang yang terjadi tidak hanya mengalir ke segelintir orang, tetapi tersebar merata ke berbagai lapisan masyarakat. Model ekonomi semacam ini memperkuat solidaritas antarwarga dan mendorong terciptanya rasa saling memiliki terhadap festival dan kampung mereka untuk dirawat dan dipelihara bersama-sama.
Dampak dari aktivasi sosial-budaya ini terasa jauh melampaui peristiwa festival itu sendiri. Hubungan antarwarga semakin erat, simpul-simpul sosial lintas personal semakin kuat, menciptakan jaringan kolaborasi yang alami ala kampung. Mereka tidak hanya bekerja sama dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan kampung.
Di sinilah terlihat betapa perayaan budaya, seperti festival di Kampung Cempluk tidak hanya menjadi ajang ekspresi seni dan budaya, tetapi juga menjadi sarana penguatan ekonomi lokal serta ikatan sosial yang berkelanjutan.
Dengan demikian, festival ini tidak hanya merayakan kebudayaan dalam bentuk pertunjukan dan seni, tetapi juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengaktifkan perekonomian kampung secara kreatif. Perputaran ekonomi yang terjadi selama festival ini menjadi cermin dari kekuatan masyarakat yang saling terhubung dalam simpul-simpul sosial yang erat.
Di sinilah letak keindahan kampung yang sebelumnya sempat meredup, kini bersinar kembali, di mana budaya, ekonomi, dan kebersamaan berjalan beriringan, membentuk tatanan yang harmonis dan berkelanjutan.
Perjalanan 14 tahun
Kampung Cempluk Festival telah menjadi perayaan budaya yang unik dan penuh makna, yang kini memasuki usianya yang ke-14. Selama bertahun-tahun, festival ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sebuah proses yang mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Perjalanan eksistensi Kampung Cempluk sebagai ruang kreatif dan budaya terasa begitu alami, tumbuh bersama dengan generasi mudanya yang semakin menyadari potensi besar yang ada di dalam kampung mereka.
Selama sepekan penuh, festival di kampung lingkar kampus itu menjadi hari raya kebudayaan yang menyatukan seluruh warga dan para pengunjung dari berbagai penjuru. Dalam suasana yang penuh keceriaan dan kebersamaan, festival ini menyajikan berbagai acara yang melibatkan seluruh elemen kampung, dari anak-anak hingga orang tua, semuanya turut ambil bagian dalam perayaan.
Tidak hanya sebagai penonton, warga Kampung Cempluk bertransformasi menjadi pelaku kebudayaan yang aktif, menciptakan karya seni, musik, tari, hingga pertunjukan teater yang menjadi wajah dari keberagaman budaya kampung ini.
Perjalanan festival ini memberikan banyak pelajaran berharga, terutama bagi para pemuda kampung yang mulai merasakan tumbuhnya kebanggaan terhadap kampung mereka. Mereka tidak lagi melihat kampung sebagai sekadar tempat tinggal, tetapi sebagai ruang potensial yang kaya akan pengetahuan dan kreativitas, termasuk kaya sumber ekonomi.
Kampung ini menjadi laboratorium hidup bagi anak-anak muda untuk belajar, berkreasi, dan merancang masa depan mereka. Laman-laman kampung yang sederhana berubah menjadi panggung terbuka bagi ilmu pengetahuan, di mana setiap pojoknya bercerita tentang sejarah, kearifan lokal, dan kebersamaan yang tiada habisnya.
Hal yang membuat festival ini begitu istimewa adalah suasana kebersamaan yang mengalir dalam setiap detiknya. Perayaan ini bermuara pada kebahagiaan kolektif yang dirasakan oleh seluruh warga kampung. Tidak ada sekat antara warga dan tamu, semua merasakan getaran yang sama, yaitu getaran kebahagiaan yang tulus dan penuh cinta terhadap ruang hidup mereka.
Dalam kebersamaan itu pula, energi kreatif dan produktif tumbuh subur. Setiap karya seni yang ditampilkan, setiap nada musik yang dimainkan, setiap gerakan tari yang dipentaskan, membawa vibrasi positif yang menyentuh hati setiap insan yang hadir.
Selama 14 tahun perjalanan festival, dengan segala suka-dukanya, kampung ini telah membuktikan bahwa kebudayaan bukan hanya soal warisan masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan ruang bagi masa depan yang lebih baik.
Para pemuda kampung belajar bahwa mereka adalah penerus dari siklus pengetahuan yang terus berputar, yang akan mengalir kepada generasi berikutnya. Melalui peristiwa kebudayaan ini, mereka menemukan jati diri mereka dan menyadari bahwa kampung mereka memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menggerakkan perubahan, baik bagi mereka sendiri, maupun bagi siapa pun yang berkesempatan hadir dan merasakan keajaiban kampung ini.
Bangkitnya kampung ini, salah satunya lewat festival, sejalan dengan program pemerintah mengenai pemajuan kebudayaan. Kampung Cempluk, dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan menjadi model bagi kampung lainnya, terutama yang sudah tergabung dalam Jaringan Kampung (Japung) Nusantara untuk bangkit, menyongsong Indonesia Emas 2045.
*) Dr Redy Eko Prastyo adalah seniman musik, alumni program doktor sosiologi Universitas Brawijaya (UB) Malang, penggerak Kampung Campluk dan penggagas festival
Copyright © ANTARA 2024