Kado lain Jokowi untuk Papua adalah Program BBM Satu Harga, yang menjadi terobosan untuk memangkas mahalnya biaya bahan bakar dan transportasi di Papua


Efek domino dari ketimpangan itu adalah makin terseoknya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Kawasan Indonesia Timur. Khusus Papua, yang notabene menjadi bagian paling timur KIT, ketertinggalan dan perbedaan sosial-budaya di wilayah itu memunculkan ancaman separatisme, terutama dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Papua memang unik sedari awal. Wilayah ini tidak otomatis menjadi bagian Indonesia, pasca-pengakuan kedaulatan Belanda, usai Konferensi Meja Bundar 1949.

Atas alasan memiliki identitas yang berbeda dari kawasan lain, Belanda tidak menyerahkan Papua. Baru setelah melalui Perjanjian New York 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, Papua bergabung dengan Indonesia. Namun, sengkarut politik Papua tidak selesai sampai di situ karena masih terdapat kelompok-kelompok di Papua yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dinamika konflik antara Pemerintah Indonesia dan gerakan separatis terus berlanjut, dan bahkan meruncing terutama di era Orde Baru.

Sejumlah Presiden, termasuk Jokowi, berupaya menyudahi konflik Papua, dengan pendekatan baru. Pasca-Reformasi 1998, Pemerintah Pusat menanggapi seruan kelompok prokemerdekaan Papua dengan pendekatan baru, yakni memberlakukan kebijakan otonomi khusus (otsus) terhadap Papua melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. UU Nomor 35 tahun 2008 yang mengubah UU Otsus Papua kemudian menegaskan pemberlakuan otsus juga diterapkan terhadap Provinsi Papua Barat.

Penerapan aturan tersebut dilakukan untuk memulihkan stabilitas keamanan dan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat sehingga wilayah tersebut tetap menjadi bagian dari NKRI. Dengan pendekatan baru ini diharapkan permasalahan Papua di bidang ekonomi, seperti kemandekan pembangunan, rendahnya taraf hidup dan PDB, hingga persoalan komoditas kebutuhan masyarakat, dapat teratasi.

Presiden Jokowi memang memberikan afirmasi lebih atas Papua. Selama 2014--2021, dana otsus yang digelontorkan ke Papua sebesar Rp42,89 triliun, atau lebih dari Rp5,36 triliun setiap tahunnya. Pada periode yang sama, dana otsus di Papua Barat juga naik signifikan mencapai Rp18,35 triliun, atau rata-rata sebesar Rp2,29 per tahun. Anggaran untuk kedua provinsi itu, belum termasuk Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), serta belanja kementerian atau lembaga, yang jumlahnya juga mencapai triliunan.

Besarnya jumlah anggaran yang diberikan pada Papua menunjukkan atensi spesial Pemerintah terhadap Bumi Cendrawasih. Otsus masih menjadi langkah strategis untuk pembangunan di Papua karena membuka ruang bagi orang asli Papua (OAP) berperan di pemerintah daerah, menjadi panduan dalam pembangunan SDM, ekonomi, dan infrastruktur di wilayah Papua.

Perubahan struktural juga dilakukan Pemerintah dengan pemekaran Papua pada tahun 2022 yang terkandung dalam UU 14/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, UU 15/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, UU 16/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan UU 29/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Jika ditambahkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, berarti terdapat enam provinsi di seluruh wilayah Papua.

Adanya daerah otonomi baru itu diharapkan memudahkan jangkauan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat, menimbang kondisi geografis Papua yang sangat luas. Daerah otonomi baru juga akan membuat pembangunan lebih fokus, rentang kendali lebih dekat, eksistensi maupun peran wilayah adat dan budaya di setiap wilayah dapat diperkuat. Otonomi baru diharapkan juga menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, serta membuka lapangan kerja baru. Alhasil, kebijakan ini dapat mempercepat kesejahteraan OAP.

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024