Sebelum ditekennya aturan pelarangan ekspor bahan mentah, dan diwajibkannya hilirisasi, Indonesia berada dalam fase 'nyaman', karena perdagangan produk mentah sektor mineral, dan perkebunan banyak dibutuhkan oleh pasar global sebagai bahan baku, serta minim sengketa.
Jalan penerapan hilirisasi di Indonesia tak serta-merta mulus. Pada awal beleid larangan ekspor bahan mentah mineral diterapkan, Indonesia langsung bersengketa di Badan Perdagangan Dunia (WTO), karena mendapat gugatan dari Uni Eropa soal penutupan ekspor bijih nikel.
Gugatan itu tidak membuat langkah Pemerintah surut. Indonesia hingga saat ini tetap konsisten menjalankan program hilirisasi karena tidak mau kehilangan potensi keuntungan hingga berkali-kali lipat per tahun dari ekspor produk jadi atau setengah jadi.
Bayangkan saja, dalam setiap fase mineral yang diolah, harga jualnya bisa dinaikkan mulai dari 11 hingga 67 kali lipat lebih tinggi.
Pemerintah mencatat pada tahun 2013 nilai ekspor nikel Indonesia hanya sebesar 5,4 miliar dolar AS, namun setelah penerapan hilirisasi, dalam satu dekade kemudian pada tahun 2023, ekspor nikel melalui penjualan produk turunannya seperti nikel sulfat, prekursor, katoda, dan sel baterai kendaraan listrik, memberikan keuntungan bagi devisa sebesar 33,5 miliar dolar AS.
Artinya proses pengolahan bahan baku dari hulu menjadi produk hilir, memberikan keuntungan hingga 600 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Hal serupa juga terjadi di subsektor pengolahan mineral lainnya, seperti bauksit yang pada tahun 2014 memiliki nilai ekspor sebesar 47,74 juta dolar AS, namun setelah resmi menutup keran ekspor pada tahun 2023, Indonesia malah mendapat keuntungan lebih besar yakni sebesar 1,5 miliar dolar AS yang diperoleh melalui proses peleburan bahan mineral (smelting) di dalam negeri.
Hilirisasi sektor batu bara di masa pemerintahan Presiden Jokowi turut berhasil melakukan diversifikasi menjadi briket batu bara yang mengantongi investasi hingga 200 juta dolar AS. Selain itu, terciptanya proses peningkatan mutu batu bara (coal upgrading), serta gasifikasi batu bara yang diolah menjadi dimetil eter (DME), sehingga membantu substitusi impor LPG hingga Rp80 triliun.
Di sektor kelapa sawit, kebijakan ini berhasil meningkatkan proses pemurnian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi produk hilir yang memiliki nilai tinggi (refinery). Disamping itu terdapat lonjakan jumlah diversifikasi produk olahan sawit yang sebelumnya hanya 54 jenis, menjadi 179 jenis hingga awal tahun 2024.
Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18 persen CPO dan 6 persen crude palm kernel oil (CPKO), keduanya merupakan bahan baku industri. Sekitar 61 persen sisanya merupakan produk refinery dan 15 persen lagi berupa produk lainnya.