Jakarta (ANTARA) - Presiden Soekarno pernah berujar bahwa “Indonesia tidak akan ambruk -- Insya Allah, Indonesia tidak akan ambruk!” katanya dalam pidato yang disampaikannya pada peringatan HUT Republik Indonesia 17 Agustus 1964 ketika Indonesia baru saja keluar dari masa paceklik panjang yang melanda Tanah Air pada 1962 dan 1963.

Indonesia kini menghadapi tantangan yang juga tidak ringan. Tantangan itu tidak hanya dampak kemarau panjang akibat fenomena El Niño, tapi juga dampak pandemi COVID-19, konflik geopolitik, resesi global, perang dagang Amerika Serikat dan China, hingga tingkat suku bunga yang tinggi. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perekonomian domestik.

Meskipun begitu, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai bahwa pertumbuhan ekonomi nasional selama satu dekade terakhir cukup baik dibandingkan negara-negara sejawat (peer countries).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), rata-rata tumbuh sekitar 5 persen per tahun selama periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.

Perekonomian nasional tumbuh 5,02 persen pada 2014, kemudian 4,88 persen pada 2015, 5,03 persen pada 2016, 5,07 persen pada 2017, 5,17 persen pada 2018 dan 5,02 persen pada 2019.

Sementara pada periode pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua, PDB Indonesia tidak tumbuh semulus periode sebelumnya karena resesi global dan pandemi COVID-19 yang bahkan membuat pertumbuhan terkontraksi.

Akibatnya, perekonomian nasional tumbuh -2,07 persen pada 2020. Meskipun demikian, pertumbuhan negatif tersebut tidak berlangsung lama karena pada 2021 ekonomi Indonesia berhasil tumbuh 3,69 persen berkat berbagai upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Pertumbuhan pada tahun berikutnya bahkan mencapai 5,31 persen, meskipun pencapaian tersebut kembali melambat menjadi 5,04 persen pada 2023.

Sementara pada 2024, pertumbuhan ekonomi relatif baik, yakni mencapai 5,11 persen pada triwulan I dan 3,79 persen pada triwulan II.

Gotong royong PEN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2017 pernah berujar bahwa anggaran yang dikelola dengan baik tidak hanya mencerminkan kualitas ekonomi yang baik, tapi mencerminkan martabat suatu bangsa yang baik. Hal ini yang menggambarkan suatu negara diurus secara benar. Itu menceritakan banyak hal mengenai karakter bangsa Indonesia. 

Pernyataan yang ia sampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pelaksanaan Anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) Tahun 2017 tersebut teruji ketika pandemi COVID-19 merajalela.

Gotong royong, yang merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia, terlihat dari upaya semua pihak, termasuk kementerian, lembaga, bahkan TNI dan Polri, dalam mencegah agar virus tersebut tidak semakin memakan banyak korban.

Salah satunya dilakukan melalui pemberian vaksinasi secara massal, pembagian masker gratis, hingga penyesuaian anggaran untuk sektor-sektor dan program-program yang dianggap penting.

Banyak anggaran yang dialihkan demi menyediakan vaksin, alat kesehatan, maupun bantuan sosial, agar tidak hanya kesehatan masyarakat yang terjaga, tapi juga perekonomian mereka melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Anggaran PEN pertama kali dialokasikan pada 2020 sebesar Rp405,1 triliun, lalu naik menjadi Rp695,2 triliun dengan realisasi Rp575,9 triliun.

Pada 2021, alokasi PEN disiapkan senilai Rp403,9 triliun, namun ketika COVID-19 varian Delta masuk ke Indonesia dan menimbulkan banyak korban, maka anggaran tersebut ditambah menjadi Rp744,8 triliun dan akhirnya terealisasi sebesar Rp655,1 triliun. Program PEN pun berakhir pada 2022 dengan total anggaran Rp1.645 triliun. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan bahwa anggaran yang berubah-ubah tersebut bukan karena kurang perencanaan, tapi pihaknya berupaya untuk mendesain APBN secara fleksibel sekaligus tepat sasaran sesuai kebutuhan dengan tata kelola yang baik.

Anggaran tersebut digunakan untuk belanja penanganan COVID-19, dukungan APBD untuk penanganan COVID-19 di daerah, insentif tenaga kesehatan, insentif perpajakan kesehatan, dukungan UMKM, insentif usaha/pajak, ketahanan pangan, program padat karya, dan perlindungan sosial. (perlinsos).

Seorang pemulung menarik gerobak saat melintasi kawasan Ampera, Jakarta, Jumat (23/7/2021). Menurut data Kemenkeu, tingkat kemiskinan berada pada level 10,14 persen pada Maret 2021 atau turun dari level 10,19 pada September 2020 karena program perlindungan sosial (Perlinsos COVID-19) dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berhasil menahan tingkat kemiskinan Indonesia tidak naik ke level perkiraan terburuk Bank Dunia yakni 11,2 persen pada 2021. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/hp.
Perlindungan sosial menjadi salah satu penopang utama perekonomian dan kesejahteraan masyarakat selama masa pandemi dengan pagu senilai Rp230,21 triliun pada 2020, kemudian Rp186,64 triliun pada 2021, dan Rp154,76 triliun pada 2022.

Bantuan yang diberikan termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM), BLT Dana Desa, Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, BLT Minyak Goreng, Program Keluarga Harapan (PKH), BLT Nelayan, serta bantuan penyandang disabilitas, yatim piatu, dan lansia.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memprediksi bahwa tanpa perlindungan sosial,  kemungkinan tingkat kemiskinan dapat mencapai 10,96 persen dari total penduduk Indonesia akibat tekanan ekonomi selama masa pembatasan aktivitas masyarakat akibat COVID-19.

Artinya, dampak pandemi tersebut dapat merusak laju positif pengurangan kemiskinan di Tanah Air yang diupayakan pemerintahan Jokowi mencapai 7,5 persen pada 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 sebesar 28,28 juta orang (11,25 persen dari total penduduk Indonesia), dengan tingkat kemiskinan ekstrem 7,9 persen. Jumlah tersebut kemudian naik menjadi 28,59 juta orang pada 2015.

Namun, angka kemiskinan terus turun hingga menjadi 25,14 juta orang (9,41 persen) pada 2019 dengan tingkat kemiskinan ekstrem 3,7 persen.

Meskipun angka kemiskinan kembali naik akibat COVID-19, setidaknya berkat perlindungan sosial kenaikan tersebut tidak signifikan, bahkan tidak sampai 1 persen.

Jumlah penduduk miskin pada 2020 tercatat naik menjadi 26,42 juta orang (9,78 persen) dan meningkat lagi pada 2021 menjadi 27,54 juta orang (10,14 persen), sementara angka kemiskinan ekstrem tercatat masing-masing sebesar 4,2 persen dan 3,7 persen.

Setelah periode tersebut, tingkat kemiskinan pun terus turun. Jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 26,16 juta orang (9,54 persen) pada 2022, turun menjadi 25,9 juta orang (9,36 persen) pada 2023, dan 25,22 juta orang (9,03 persen) pada Maret 2024.

Tingkat kemiskinan ekstrem juga berkurang menjadi 1,7 persen pada 2022, selanjutnya  1,1 persen pada 2023, dan 0,8 persen per Maret 2024.

Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai bahwa program PEN cukup berhasil mengatasi kelesuan ekonomi saat pandemi dengan mendorong pertumbuhan jangka pendek.

Pemerintah melalui kebijakan fiskalnya mendorong belanja APBN untuk menstimulasi konsumsi masyarakat serta belanja swasta, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat pulih kembali.

Tak sekadar bertumbuh

Meskipun secara keseluruhan perekonomian Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang baik di kisaran 5 persen dan inflasi yang terjaga pada rentang target 2-3 persen, tapi hal tersebut belum cukup untuk mengantarkan bangsa ini mencapai Indonesia Emas.

Pemerintah telah berupaya untuk membawa Indonesia keluar dari middle-income trap agar pendapatan nasional naik melalui berbagai upaya, seperti reformasi perpajakan, penciptaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, serta menarik investasi asing.

Namun tetap saja, Indonesia belum keluar dari “jebakan” tersebut. Ekonom LPEM UI Teuku Riefky berpendapat bahwa permasalahannya adalah sebagian besar pertumbuhan ekonomi nasional didorong oleh komoditas dan sektor yang cenderung bernilai tambah rendah.

Secara umum, pertumbuhan Indonesia belum didorong oleh sektor yang memiliki produktivitas tinggi dan penyerapan lapangan kerja yang optimal.

Selain itu, sektor perekonomian di Tanah Air masih bergantung pada konsumsi domestik dan komoditas mentah, sementara sektor manufaktur dan industri minim sentuhan kebijakan, sehingga tidak signifikan untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi.

Hal tersebut pula yang menyebabkan program PEN belum dapat secara optimal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja, walaupun sudah bisa memulihkan aktivitas perekonomian seusai pandemi.

Sejumlah kebijakan yang diciptakan pun, seperti UU Cipta Kerja dan reformasi pajak, belum dapat membuka lapangan kerja baru maupun berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ekonom INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan bahwa UU Cipta Kerja memang memberikan keuntungan kepada sejumlah pihak, tapi peraturan tersebut ternyata juga memberatkan pekerja dalam sejumlah aspek dan menimbulkan ketidakpastian usaha.

Sementara reformasi dan insentif pajak yang didorong dengan diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terlihat belum banyak memberikan dampak positif terhadap penerimaan perpajakan nasional.

Jika memang peraturan tersebut berkontribusi besar, maka seharusnya penerimaan pajak pada semester I 2024 tidak terkontraksi hingga 7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, hanya mencapai Rp1.028 triliun.

Selain itu, indikator rasio perpajakan (tax ratio) sebesar 10,2 persen pada 2023 menunjukkan adanya penurunan dari 10,39 persen pada 2022. Padahal angka tersebut sebelumnya naik double digit dari 9,11 persen pada 2021.

Rasio perpajakan tersebut pun juga turun jauh dari awal periode kepemimpinan Jokowi yang mencapai 13,7 persen pada 2014.

Direktur Kebijakan Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat bahwa kondisi tersebut dimungkinkan karena pemerintah belum optimal dalam meningkatkan jumlah penerimaan negara dari pajak penghasilan, khususnya pajak penghasilan para miliuner yang selama ini menikmati kue ekonomi lebih besar.

Padahal, pengenaan pajak bagi orang-orang super kaya berpotensi mendongkrak penerimaan dan rasio pajak secara signifikan.

Selain itu, penerapan tax holiday belum optimal dalam menarik minat investor asing karena inkonsistensi peraturan pemerintah terkait tax holiday yang membuat investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal.

Hal tersebut sungguh disayangkan karena pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Terlebih lagi, pemerintahan mendatang dihadapkan pada jatuh tempo pelunasan utang.

Bright Institute memproyeksi utang pemerintah per 31 Desember 2023 mencapai Rp8.800 triliun, atau 40 persen dari PDB, atau melonjak tajam dari Rp2.608,8 triliun pada 2014, atau 24,7 persen dari PDB saat itu.

Jangan sampai ambruk

Beban utang yang cukup besar, yang menurut INDEF pada tahun depan harus dibayar sebesar Rp800,33 triliun, terdiri atas Rp705,5 triliun untuk membayar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun berupa pinjaman lainnya, dapat menggerus APBN.

Hal itulah yang mendorong pemerintah berupaya untuk keluar dari middle-income trap seraya meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional serta penerimaan pajak.

Untuk mempercepat upaya tersebut, Rektor Universitas Paramadina Didik Junaidi Rachbini mengatakan bahwa diperlukan diversifikasi ekonomi dengan dipimpin oleh sektor industri, teknologi, dan ekonomi digital untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah.

Agar semakin banyak teknologi yang masuk, maka berbagai regulasi dan infrastruktur perlu diperbaiki untuk meningkatkan kemudahan berinvestasi sehingga menarik investor global.

Tidak hanya penyediaan teknologi, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) juga merupakan faktor penting untuk memajukan perekonomian nasional karena berkaitan dengan tersedianya tenaga kerja yang berkualitas.

Belanja dari alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen pun harus dilakukan secara optimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan untuk menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif dan inovatif.

Selain itu, diperlukan pula stabilitas makroekonomi dengan memastikan inflasi, nilai tukar, dan defisit transaksi berjalan tetap stabil agar iklim usaha kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Tidak hanya faktor-faktor ekonomi, pertumbuhan ekonomi nasional juga membutuhkan dukungan sektor hukum agar regulasi yang diciptakan dapat berjalan dengan optimal, sehingga dibutuhkan perbaikan kualitas institusi dan penegakan hukum.

Semoga dengan berbagai upaya tersebut, beserta inovasi kebijakan positif lainnya, pemerintah dapat menjaga perekonomian nasional untuk tetap tumbuh dengan kuat. Pemerintahan mendatang dapat menjaga kepercayaan agar Indonesia tidak akan pernah ambruk.

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (23/8/2024). . ANTARA FOTO/Fauzan/tom., (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 85 Jokowinomics. Selengkapnya bisa dibaca di sini

 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024