Tak sekadar bertumbuh

Meskipun secara keseluruhan perekonomian Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang baik di kisaran 5 persen dan inflasi yang terjaga pada rentang target 2-3 persen, tapi hal tersebut belum cukup untuk mengantarkan bangsa ini mencapai Indonesia Emas.

Pemerintah telah berupaya untuk membawa Indonesia keluar dari middle-income trap agar pendapatan nasional naik melalui berbagai upaya, seperti reformasi perpajakan, penciptaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, serta menarik investasi asing.

Namun tetap saja, Indonesia belum keluar dari “jebakan” tersebut. Ekonom LPEM UI Teuku Riefky berpendapat bahwa permasalahannya adalah sebagian besar pertumbuhan ekonomi nasional didorong oleh komoditas dan sektor yang cenderung bernilai tambah rendah.

Secara umum, pertumbuhan Indonesia belum didorong oleh sektor yang memiliki produktivitas tinggi dan penyerapan lapangan kerja yang optimal.

Selain itu, sektor perekonomian di Tanah Air masih bergantung pada konsumsi domestik dan komoditas mentah, sementara sektor manufaktur dan industri minim sentuhan kebijakan, sehingga tidak signifikan untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi.

Hal tersebut pula yang menyebabkan program PEN belum dapat secara optimal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja, walaupun sudah bisa memulihkan aktivitas perekonomian seusai pandemi.

Sejumlah kebijakan yang diciptakan pun, seperti UU Cipta Kerja dan reformasi pajak, belum dapat membuka lapangan kerja baru maupun berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ekonom INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan bahwa UU Cipta Kerja memang memberikan keuntungan kepada sejumlah pihak, tapi peraturan tersebut ternyata juga memberatkan pekerja dalam sejumlah aspek dan menimbulkan ketidakpastian usaha.

Sementara reformasi dan insentif pajak yang didorong dengan diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terlihat belum banyak memberikan dampak positif terhadap penerimaan perpajakan nasional.

Jika memang peraturan tersebut berkontribusi besar, maka seharusnya penerimaan pajak pada semester I 2024 tidak terkontraksi hingga 7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, hanya mencapai Rp1.028 triliun.

Selain itu, indikator rasio perpajakan (tax ratio) sebesar 10,2 persen pada 2023 menunjukkan adanya penurunan dari 10,39 persen pada 2022. Padahal angka tersebut sebelumnya naik double digit dari 9,11 persen pada 2021.

Rasio perpajakan tersebut pun juga turun jauh dari awal periode kepemimpinan Jokowi yang mencapai 13,7 persen pada 2014.

Direktur Kebijakan Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat bahwa kondisi tersebut dimungkinkan karena pemerintah belum optimal dalam meningkatkan jumlah penerimaan negara dari pajak penghasilan, khususnya pajak penghasilan para miliuner yang selama ini menikmati kue ekonomi lebih besar.

Padahal, pengenaan pajak bagi orang-orang super kaya berpotensi mendongkrak penerimaan dan rasio pajak secara signifikan.

Selain itu, penerapan tax holiday belum optimal dalam menarik minat investor asing karena inkonsistensi peraturan pemerintah terkait tax holiday yang membuat investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal.

Hal tersebut sungguh disayangkan karena pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Terlebih lagi, pemerintahan mendatang dihadapkan pada jatuh tempo pelunasan utang.

Bright Institute memproyeksi utang pemerintah per 31 Desember 2023 mencapai Rp8.800 triliun, atau 40 persen dari PDB, atau melonjak tajam dari Rp2.608,8 triliun pada 2014, atau 24,7 persen dari PDB saat itu.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024