Perlindungan sosial menjadi salah satu penopang utama perekonomian dan kesejahteraan masyarakat selama masa pandemi dengan pagu senilai Rp230,21 triliun pada 2020, kemudian Rp186,64 triliun pada 2021, dan Rp154,76 triliun pada 2022.
Bantuan yang diberikan termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM), BLT Dana Desa, Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, BLT Minyak Goreng, Program Keluarga Harapan (PKH), BLT Nelayan, serta bantuan penyandang disabilitas, yatim piatu, dan lansia.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memprediksi bahwa tanpa perlindungan sosial, kemungkinan tingkat kemiskinan dapat mencapai 10,96 persen dari total penduduk Indonesia akibat tekanan ekonomi selama masa pembatasan aktivitas masyarakat akibat COVID-19.
Artinya, dampak pandemi tersebut dapat merusak laju positif pengurangan kemiskinan di Tanah Air yang diupayakan pemerintahan Jokowi mencapai 7,5 persen pada 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 sebesar 28,28 juta orang (11,25 persen dari total penduduk Indonesia), dengan tingkat kemiskinan ekstrem 7,9 persen. Jumlah tersebut kemudian naik menjadi 28,59 juta orang pada 2015.
Namun, angka kemiskinan terus turun hingga menjadi 25,14 juta orang (9,41 persen) pada 2019 dengan tingkat kemiskinan ekstrem 3,7 persen.
Meskipun angka kemiskinan kembali naik akibat COVID-19, setidaknya berkat perlindungan sosial kenaikan tersebut tidak signifikan, bahkan tidak sampai 1 persen.
Jumlah penduduk miskin pada 2020 tercatat naik menjadi 26,42 juta orang (9,78 persen) dan meningkat lagi pada 2021 menjadi 27,54 juta orang (10,14 persen), sementara angka kemiskinan ekstrem tercatat masing-masing sebesar 4,2 persen dan 3,7 persen.
Setelah periode tersebut, tingkat kemiskinan pun terus turun. Jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 26,16 juta orang (9,54 persen) pada 2022, turun menjadi 25,9 juta orang (9,36 persen) pada 2023, dan 25,22 juta orang (9,03 persen) pada Maret 2024.
Tingkat kemiskinan ekstrem juga berkurang menjadi 1,7 persen pada 2022, selanjutnya 1,1 persen pada 2023, dan 0,8 persen per Maret 2024.
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai bahwa program PEN cukup berhasil mengatasi kelesuan ekonomi saat pandemi dengan mendorong pertumbuhan jangka pendek.
Pemerintah melalui kebijakan fiskalnya mendorong belanja APBN untuk menstimulasi konsumsi masyarakat serta belanja swasta, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat pulih kembali.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024