Jakarta (ANTARA) - Pada hari ini, 7 Oktober di tahun yang lalu, dunia digemparkan oleh serangan besar-besaran Israel ke Gaza, Palestina, yang merenggut ribuan nyawa tak berdosa.

Israel menyebut serangan itu sebagai balasan atas serangan yang dilancarkan oleh kelompok perlawanan Hamas, Palestina, ke Israel pada hari yang sama, yang juga menewaskan banyak warganya, menurut laporan berbagai sumber media asing.

Brigade Al-Qassam, yang merupakan sayap bersenjata kelompok Hamas, mengakui penyerbuan tersebut dengan memublikasikan rekaman aksi penyusupan para pejuangnya ke sejumlah lokasi militer Israel.

Sementara, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menyebut serangan itu sebagai epik heroik, sebagai respons atas agresi Israel ke Masjid Al Aqsa, serta aksi kekerasan yang dilakukan para pemukim Israel.

Adapun, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertemuan daruratnya dengan pejabat tinggi sipil dan keamanan menekankan hak rakyat Palestina untuk membela diri dari terorisme yang dilakukan para pemukim dan pasukan pendudukan.

Akibat agresi yang terus menerus dari tentara dan para pemukim Israel terhadap warga Palestina itu lah, Brigade Al-Qassam memulai Operasi Badai Al-Aqsa dengan serangan roket yang menargetkan sejumlah lokasi musuh, bandara dan instalasi militer.

Menanggapi penyerbuan tersebut, Israel juga melancarkan Operasi Iron Swords sehingga menewaskan sedikitnya 198 warga Palestina di awal serangannya ke Gaza, menurut otoritas kesehatan di Gaza pada Sabtu (7/10).

Hari demi hari sepanjang satu tahun terakhir, ribuan nyawa warga Gaza terenggut akibat serangan gencar Israel di Jalur Gaza, dengan jumlah korban tewas terakhir tercatat sebanyak lebih dari 41.800 orang. Sementara lebih dari 96.800 orang lainnya mengalami luka-luka.

Serangan Israel juga menyebabkan hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi di tengah blokade yang terus berlangsung sehingg menyebabkan kelangkaan bahan makanan, air bersih dan obat-obatan.

Eskalasi perang

Menyusul serangan gencar Israel yang didukung sekutu utamanya Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat lainnya ke Jalur Gaza, Israel juga menyerang kelompok Houthi Yaman, menyusul serangan kelompok tersebut ke kapal-kapal yang menuju Israel di Laut Merah pada awal 2024.

Kelompok bersenjata Houthi yang didukung Iran itu meningkatkan keterlibatan mereka dalam konflik Gaza sebagai bentuk dukungan bagi rakyat Palestina yang menghadapi "agresi dan blokade" Israel di Gaza, menurut laporan Anadolu pada 5 Januari 2024.

Sementara itu, Kelompok Hizbullah Lebanon juga terlibat baku tembak di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel sejak 8 Oktober 2023, sebagai bentuk dukungan untuk rakyat Palestina.

Sembari terus menyerang Gaza, Israel pada 23 September meningkatkan serangannya ke Lebanon dengan meluncurkan serangan gencar ke sepanjang perbatasan, yang sejauh ini telah menewaskan 1.073 orang dan melukai 2.950 orang lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon sebagaimana dikutip Anadolu.

Yang terbaru, Iran, setelah berupaya menahan diri, akhirnya melancarkan serangan ke Israel pada 2 Oktober 2024 sebagai balasan atas pembunuhan Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dan Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.

Di tengah situasi yang berkembang saat ini, Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah menilai dukungan dari negara-negara Arab dan masyarakat internasional terhadap Palestina dalam perlawanannya terhadap Israel tersebut merupakan bentuk kesadaran mereka atas penjajahan Israel ke Palestina yang telah berlangsung lama.

"Karena negara-negara Arab sekarang sudah semakin sadar bahwa mereka itu hendaknya pelan-pelan menyatukan energi untuk mendukung Palestina," kata Rezasyah kepada ANTARA pada Minggu (7/10).

Perang tersebut, katanya, telah merenggut ribuan nyawa, dengan korban yang tidak terhitung lagi, sehingga penderitaan yang lama tersebut menciptakan energi perlawanan secara fisik, mental dan spiritual, yang melibatkan semua kekuatan baik di dalam dan di luar Palestina.

Perang Israel-Palestina yang sebenarnya telah berlangsung selama puluhan tahun itu juga, menurut dia, semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa serangan-serangan Israel ke Gaza dalam satu tahun terakhir semata-mata untuk memperluas wilayah penjajahan mereka di Palestina.

"Mereka bisa melihat bahwa selama ini mereka sudah terbuai dengan koalisi moral AS, Israel dan negara-negara di Eropa yang menganggap Palestina itu adalah pihak yang harus selalu disalahkan," katanya.

"Tetapi, karena terlalu banyak dan lamanya pertempuran ini, akhirnya dunia terbuka bahwa ternyata biang keladinya adalah Pemerintah Israel," tambahnya.

Di tengah kekhawatiran masyarakat internasional atas potensi meluasnya konflik Gaza menjadi perang regional, Rezasyah menilai bahwa negara-negara Arab semestinya semakin menyatukan kekuatan mereka dan melihat krisis di Jalur Gaza sebagai tekanan bersama terhadap Israel untuk segera menghentikan serangannya dan memberikan kemerdekaan kepada Palestina.

Kesatuan upaya itu juga, menurutnya, perlu ditingkatkan dengan dukungan dari masyarakat dunia guna mencegah potensi meluasnya konflik menjadi perang regional yang lebih luas lagi.

"Karena setelah Israel memperluas perang ke Gaza dan Lebanon. Maka sasaran selanjutnya adalah Yordania dan Suriah," kata Rezasyah, menyusul laporan serangan pengeboman Israel di dekat instalasi Rusia di Suriah beberapa hari lalu.

Jika serangan tersebut berlanjut, Rezasyah mengkhawatirkan bahwa Rusia juga berpotensi menyerang pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah, yang jumlahnya cukup besar.

Dengan adanya potensi keterlibatan Rusia dalam konflik Israel-Palestia, pengamat yang juga dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran (Unpad) itu juga mengkhawatirkan potensi pembagian peran Rusia dengan China dan Korea Utara dalam konflik tersebut.

"Rusia tentu bersahabat dengan China. Meraka bersahabat juga dengan Korea Utara. Maka ada potensi pembagian peran, misalnya Rusia barangkali mengamankan Timur Tengah, sementara China juga mendukung di Selat Taiwan, dan kemudian Korut bergerak di Semenanjung Korea," katanya menjelaskan.

Kontribusi Indonesia

Guna mencegah eskalasi perang Gaza ke tingkat regional, Rezasyah menilai bahwa PBB seharusnya menunjuk utusan khusus untuk secara langsung memonitor perkembangan situasi perang dan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah.

Situasi yang terjadi di kawasan tersebut, seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek kemanusiaan, tetapi juga dari aspek perangnya sendiri.

Untuk itu, PBB seharusnya menggunakan kekuasaannya dengan lebih tegas lagi untuk benar-benar memerhatikan perdamaian dunia.

Kemudian, Rezasyah juga menilai perlu ada pembaruan dalam keanggotaan di Dewan Keamanan PBB sehingga keputusan yang dihasilkan di dewan tersebut mewakili suara masyarakat internasional yang lebih luas, tidak terbatas pada lima negara anggota permanen yang ada saat ini.

Sementara itu, di tengah aspirasi masyarakat internasional yang menilai kekuatan PBB kian melemah dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, Rezasyah mendorong Pemerintahan Indonesia yang baru, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, untuk benar-benar memikirkan perdamaian di Palestina.

Menurut dia, Prabowo memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang dapat diandalkan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina dibandingkan pemimpin dunia lainnya, mengingat kepemimpinannya yang mewakili rakyat Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, yang jumlahnya jauh lebih besar.

Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi untuk menjadi negara ekonomi besar menjelang 2030. Indonesia juga, menurutnya, berpotensi memiliki bonus demografi yang sangat besar di saat negara-negara lain justru kekurangan.

"Jadi, sekarang adalah momentum Pak Prabowo untuk membuktikan bahwa Indonesia memegang konstitusinya secara benar dan konsisten, terutama konstitusi di Pasal 1, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan di paragraf terakhir bahkan Indonesia terlibat dalam perdamaian di dunia," katanya.

Dengan situasi perang yang tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat, seyogyanya semua komponen masyarakat di seluruh dunia bersama-sama mendorong solusi damai dan mendukung solusi dua negara bagi konflik yang masih berlangsung antara Israel dan Palestina, sehingga Palestina memperoleh kemerdekaannya dan perdamaian dapat terwujud di seluruh dunia.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024