Kairo (ANTARA) - Menjelang peringatan satu tahun konflik Gaza yang meletus pada 7 Oktober 2023, Timur Tengah mengalami situasi kekerasan yang semakin memburuk. Negara-negara dan faksi-faksi yang berkonflik di kawasan tersebut terperangkap dalam siklus kekerasan mematikan yang mengancam seluruh kawasan tersebut.
Dari serangan Houthi di Laut Merah yang mengundang campur tangan militer Amerika Serikat (AS) hingga meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, kawasan ini terus terseret ke ambang konflik yang lebih luas.
Dimulai pada awal Oktober tahun ini, "operasi darat terbatas" Israel di Lebanon telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban sipil dan memaksa warga mengungsi. Hal ini menjadi pertanda akan terjadinya konflik yang lebih luas dan mematikan.
Ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri-sendiri. Ini merupakan krisis yang saling berkaitan yang berakar pada konflik yang sedang berlangsung di Gaza. Ketika siklus saling balas serangan yang mematikan di Timur Tengah semakin tak terkendali, diperlukan lebih banyak upaya untuk mengedepankan akal sehat dan menahan diri di antara para pihak yang berkonflik.
Guna memutus lingkaran kekerasan ini, prioritas utama haruslah menghentikan konflik di Gaza, yang menjadi episentrum penderitaan yang tak berkesudahan selama satu tahun terakhir.
Jumlah korbannya sangat mengerikan. Di Gaza, hampir 42.000 nyawa melayang akibat konflik. Angka ini mewakili sekitar 2 persen dari populasi daerah kantong tersebut. Lebih dari 90 persen warga Gaza kini terpaksa meninggalkan rumah mereka, berkali-kali mengungsi di bawah perintah evakuasi Israel untuk mencari tempat yang lebih aman untuk berlindung, yang sebenarnya tidak ada.
Di pihak Israel, hingga Rabu (2/10), lebih dari 1.200 warga Israel dan warga negara asing, termasuk 46 warga negara AS di Israel, dikonfirmasi tewas akibat serangan 7 Oktober tahun lalu. Selain itu, sedikitnya 346 tentara Israel tewas dalam pertempuran yang berlangsung sejak militer Israel memulai operasi daratnya di Gaza, menurut laporan media.
Meningkatnya jumlah korban jiwa ini menyoroti urgensi untuk mengakhiri kekerasan dan mencari solusi yang berkelanjutan.
Angka-angka ini, meskipun sangat mengkhawatirkan, tidak cukup untuk menggambarkan kedalaman tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timur Tengah. Banyak keluarga hancur, mata pencaharian terhapus, dan seluruh generasi anak-anak sekarang menanggung bekas luka trauma. Inilah kenyataan suram yang terus dihadapi warga Gaza saat konflik terus berkecamuk, tanpa akhir yang jelas.
Meski demikian, respons komunitas internasional terhadap situasi yang sedang berlangsung terbilang masih sangat tidak memadai. Pihak AS, khususnya, yang selama ini dianggap tidak memiliki prinsip moral dalam tindakannya serta memiliki pandangan yang sempit dan tidak memperhatikan konteks sejarah. Kendati mengaku menyerukan perdamaian, Washington justru terus memberikan bantuan militer substansial kepada Israel, yang secara efektif memungkinkan konflik terus berkobar.
Dukungan yang tidak terkendali ini mendorong tindakan nekat militer Israel, yang memungkinkannya memperluas operasi militer dengan minim pertanggungjawaban. Seperti yang dikatakan oleh Fu Cong, Perwakilan Tetap China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), keputusan Israel untuk meningkatkan kampanye militernya terhadap Lebanon ketika para pemimpin dunia berkumpul di Majelis Umum PBB untuk menyerukan perdamaian di Timur Tengah "tidak lebih dari sebuah penghinaan terhadap keadilan internasional dan otoritas hukum internasional."
Demi memutus siklus kekerasan ini, komunitas internasional harus segera bersatu dan memprioritaskan diplomasi.
China, sebagai pendukung perdamaian yang konsisten, memainkan peran penting dalam mencari solusi diplomatik. Selama setahun terakhir, China mendorong beberapa resolusi gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB dan memfasilitasi rekonsiliasi internal di antara faksi-faksi Palestina. Di bawah mediasi China, 14 faksi Palestina bertemu di Beijing untuk melakukan perundingan damai pada Juli. Ini menjadi momen diplomasi yang langka dan signifikan di tengah lanskap yang suram.
Di Dewan Keamanan PBB pada September lalu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyerukan diadakannya konferensi perdamaian internasional secara mendesak. Konferensi ini bertujuan untuk memulai kembali solusi dua negara dan menengahi resolusi komprehensif untuk masalah Palestina. Usulan ini mendapatkan dukungan yang luas dari komunitas internasional dan menawarkan jalan yang kredibel menuju perdamaian.
Saat konflik Gaza memasuki tahun keduanya, komunitas internasional tak punya pilihan lain selain mencegah risiko krisis kemanusiaan dan keamanan berskala penuh.
Tak ada lagi waktu untuk upaya setengah-setengah atau gerakan simbolis belaka. Dunia harus segera bertindak untuk memperkuat upaya diplomatik dan menghentikan siklus kekerasan dan kebencian yang tak berkesudahan ini.
Masyarakat Gaza, Palestina, dan Timur Tengah secara keseluruhan berhak mendapatkan dukungan internasional yang terpadu untuk membangun perdamaian abadi.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024