masih banyak orang yang menutupi kekurangan anaknya yang disabilitas dengan tidak boleh bergaul. Padahal, orang tua mesti memberikan motivasi,
Solo, Jawa Tengah (ANTARA) - Tahun 2000, tawa bahagia seorang anak kelas 2 SMP yang sedang bercanda ria bersama teman-temannya di sebuah kereta rel listrik (KRL), Jakarta, berubah menjadi teriakan histeris.

Bocah bernama Agus Fitriadi itu terpeleset. Badannya keluar melalui pintu yang terbuka dan jatuh tepat ke samping kereta yang nyaris melaju dengan kecepatan maksimal.

Agus kecil yang tidak berdaya harus melihat kaki kanannya remuk terkena badan kereta. Ujung jari kelingking tangan kanannya pun terluka parah.

Dia segera di bawah ke rumah sakit, lalu dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Ujung jari kelingkingnya tidak dapat pula terselamatkan.

Seketika dunia Agus berubah cepat kala itu. Tidak ada lagi kaki kanan yang biasa menemaninya berlari-lari. Frustrasi mulai merambat, masuk ke alam pikir remajanya yang masih rapuh.

Anggapan bahwa dia menjadi beban orang tua, akan sulit mencari pekerjaan, tidak bisa sekolah, bercampur baur di dalam benaknya. Dia merasa menjadi beban.

"Pikiran saya sudah tidak karuan," ujar Agus.

Selama 2 tahun masa penyembuhan, Agus bergelut dengan kondisi psikologis yang tidak menentu sampai akhirnya dia memutuskan untuk melawan pikiran negatifnya.

Upaya bangkit pria yang lahir pada 10 Agustus 1985 itu berawal saat dia menyetujui ajakan temannya, Kusnan Efendi, untuk berlatih tenis kursi roda walau Agus sendiri tidak pernah berkursi roda karena dia beraktivitas dengan tongkat.

Saat itu sekitar tahun 2002, masa ketika dunia tenis kursi roda Indonesia mulai menggeliat lantaran perwakilan dari tanah air sudah tampil di berbagai kejuaraan internasional.

Awalnya, Agus dan Kusnan berlatih di lapangan tenis yang ada di sekitar Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Agus, yang belum pernah mencoba olahraga itu sebelumnya, ternyata mampu melakukan hal-hal dasar dengan baik begitu mendapatkan instruksi.

Kursi roda dapat dikendalikan, pukulannya pun lumayan akurat. Agus makin semangat berlatih di bawah bimbingan Kusnan yang ketika itu memang sudah aktif di tenis kursi roda.

Semangat pantang menyerah Agus, yang tidak dapat disembunyikan di lapangan, membuat seorang pelatih dari PB Pelti, Charles Rampen, terkesan.

Berdasarkan penelusuran di dunia maya, Charles Rampen memiliki hubungan yang baik dengan Kusnan karena sama-sama berstatus pelatih Pelti.

Seorang penulis blog di laman afraturandang.blogspot.com menyebut bahwa Kusnan dan Charlie bahkan sempat dikirim ke Malaysia untuk mempromosikan tenis kursi roda pada tahun 1995.

Laman web Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) atau Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) memaparkan Charles Rampen, yang biasa disapa Charlie, ditetapkan sebagai pelatih tenis kursi roda Indonesia pada tahun 1994 oleh Pelti meski dia sendiri bukanlah penyandang disabilitas.

Tugas tersebut membuat Charles belajar menggunakan kursi roda hampir di semua kegiatan hingga akhirnya dia menjadi petenis kursi roda andal yang kemudian menuangkan ilmunya kepada banyak orang termasuk Agus Fitriadi.
 

Peran pelatih

Agus berkisah, seusai beberapa kali berlatih di bawah pengawasan Charles Rampen, dirinya mendapatkan pertanyaan sulit.

"Dia bertanya kepada saya, 'Kamu mau setengah-setengah di tenis atau ingin profesional?' Saya menjawab, profesional. Saya melihat dia memberikan tantangan kepada saya," kata dia.

Charles ternyata memiliki rencana untuk Agus. Dia lalu menemui orang tua Agus dan meminta izin agar anak mereka tinggal di rumahnya di Depok, Jawa Barat, agar fokus berlatih tenis kursi roda.

Orang tua Agus mempersilakan. Kesepakatan tersebut menjadi batu loncatan Agus. Dia tinggal di rumah seorang pelatih tenis kursi roda ternama yang sangat disiplin.

Agus, yang baru lepas dari umur sweet seventeen, terkejut dengan gaya hidup barunya. Asupan makanan dan pola tidur tidak boleh sembarangan. Setiap hari dia harus bangun pukul 04.00 WIB. Latihan dimulai pukul 06.00 WIB dan baru selesai pukul 17.00 WIB atau 18.00 WIB.

Kebiasaan tersebut dilakukannya nyaris tanpa libur selama bertahun-tahun. Jeda vakansi hanya didapatkan ketika hari besar agama seperti Hari Raya Idul Fitri dengan syarat harus menjaga kondisi tubuh, makanan, dan tidak boleh begadang.

"Tugas saya hanya berlatih dan berlatih tanpa memikirkan biaya apa pun. Semua biaya ditanggung Pak Charlie," tutur Agus.

Agus ingat betul bagaimana kedua telapak tangannya penuh lecet dan darah karena harus memutar ban kursi roda sambil mengayunkan raket tenis yang tidak ringan.

Dia perlu berbulan-bulan sampai akhirnya kulit telapak tangannya menebal dan tidak lagi memunculkan luka saat berlatih.

"Sebelumnya, ya, kalau luka tetap berlatih. Harus ditahan. Tidak ada cerita istirahat," ujar Agus.

Kerja kerasnya di lapangan berbuah juara pada tahun 2004, ketika Agus masih menggunakan kursi roda pinjaman, mengikuti turnamen tenis kursi roda nasional di kelas junior.

Trofi kampiun membuatnya candu. Untuk mendapatkannya lagi, dia terus mengasah kemampuan. Pada tahun 2005, panggilan untuk mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) pun datang.

Agus, sosok yang 5 tahun sebelumnya berkubang dalam kesedihan dan kekecewaan tidak berkesudahan, lalu terpilih menjadi salah satu atlet yang mewakili Indonesia berlaga di ASEAN Para Games tahun 2005 di Filipina. Di debutnya, dia sukses merebut medali perunggu.

Dia terharu bukan main. Charles Rampen, tentu saja menjadi salah satu sosok yang pertama kali mendapatkan ucapan terima kasih dari Agus. Bagi dia, Charles sudah seperti bapak sendiri.

Itulah kenapa perasaannya hancur pada tahun 2010 ketika Charles Rampen meninggal dunia. Akan tetapi, Agus pelan-pelan menyeka air matanya. Wafatnya Charles menjadi cambuk bagi dirinya untuk selalu meraih prestasi. Agus tahu, itulah satu-satunya cara menjaga Charles tetap "hidup" di dalam hatinya.

Dalam prosesnya, Agus berkompetisi di empat Peparnas yakni Porcanas (Pekan Olahraga Cacat Nasional, nama sebelum Pekan Paralimpiade Nasional/Peparnas-red) 2008 Samarinda, Peparnas 2012 Pekanbaru, Peparnas 2016 Jawa Barat dan Peparnas 2021 di Papua.

Dari empat Peparnas tersebut Agus mampu merebut lima medali emas, dua perak, dan enam perunggu.

Sementara di kancah ASEAN Para Games, setelah di Filipina, dia bertanding lagi di tiga edisi setelahnya yaitu ASEAN Para Games 2008 Thailand, ASEAN Para Games 2009 Malaysia dan ASEAN Para Games 2022 Indonesia.

Sepanjang itu, Agus berhasil menambah koleksi medalinya dengan dua medali perak dan tiga medali perunggu.

Bukan cuma itu, ia pun berlaga di dua Asian Para Games yakni Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, dan Asian Para Games 2018 Jakarta.

Pengalaman-pengalaman itu belum termasuk berbagai turnamen tenis kursi roda baik nasional maupun internasional yang diikutinya.

Pada tahun 2018, Agus berhasil menempati peringkat 126 dunia Federasi Tenis Internasional (ITF) untuk kategori tunggal putra tenis kursi roda.

"Kalau Pak Charlie melihat saya sekarang, dia mungkin tersenyum. Akan tetapi, saya masih ada mimpi berikutnya yaitu tampil di Paralimpiade," tutur Agus, yang saat ini juga tampil di Peparnas 2024 di Solo.
 

Jangan menyerah

Sudah berusia 39 tahun, Agus Fitriadi belum mau melepaskan mimpinya. Bagi dirinya, prestasi merupakan sesuatu yang bisa digapai setiap orang, disabilitas atau tidak.

Untuk itu, Agus menegaskan bahwa orang dengan disabilitas mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarga dan orang tua.

Agus, misalnya, memiliki orang tua yang menyadari potensi anaknya sehingga mereka mempersilakan Charles Rampen membawa putra mereka dari rumah dan berlatih tenis kursi roda. Padahal, ayah dan ibunya hanya pedagang kecil di sudut kota Jakarta Selatan

"Saya melihat, masih banyak orang yang menutupi kekurangan anaknya yang disabilitas dengan tidak boleh bergaul. Padahal, orang tua mesti memberikan motivasi," kata dia.

Agus menyarankan orang tua dengan anak disabilitas agar mencari komunitas disabilitas yang memiliki aktivitas positif untuk perkembangan buah hati mereka.

Orang tua juga harus rajin mengorek informasi soal disabilitas dan kemudian membagikan wawasannya ke anak. Itu dianggap perlu oleh Agus karena dirinya dahulu sama sekali tidak memiliki informasi apa pun soal disabilitas apalagi olahraganya.

"Saya awalnya tidak tahu sama sekali soal disabilitas atau olahraga disabilitas ketika baru kecelakaan. Ketika diperkenalkan dengan tenis kursi roda, saya berpikir, jalan saja susah, eh, disuruh main tenis. Akan tetapi, bersamaan dengan jalannya waktu, saya terus mencoba dan menikmati," tutur Agus, yang mengaku baru memiliki kursi roda sendiri untuk tenis pada tahun 2018 atau belasan tahun setelah kejuaraan pertamanya di tenis kursi roda.

Dia mengingat dengan jelas pesan sang pelatih Charles Rampen, yang memintanya tidak memikirkan hasil terlebih karena dengan bekerja keras, pencapaian akan mengikuti dengan sendirinya.

Pesan senada pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di hadapan para atlet Peparnas 2021 di Papua.

Presiden menegaskan bahwa kesulitan dan tantangan bukan halangan untuk merengkuh prestasi. Yang penting, menurut Presiden, adalah konsistensi.

"Kita merayakan keberagaman, menghormati kesetaraan dan bersama-sama meraih prestasi yang mengharumkan nama bangsa dan negara," ujar Presiden.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024