Lebak (ANTARA) -
Di sudut Kampung Kaduketug, Desa Kanekes, pagi itu, Asih (65) mengajari dua cucunya, Sarni (14) dan Pulung (12) menenun.

Kedua jari tangan Asih cukup lihai dan terampil merajut benang dan membimbing kedua cucunya agar bisa menjadi generasi penerus.
 
Penenun kain tradisional di permukiman masyarakat Badui Luar dan Badui Dalam dilakukan sejak turun temurun dari leluhur atau nenek moyang mereka.
 
Ketika berbincang dengan ANTARA, Asih mengaku tidak mengetahui dia merupakan generasi yang keberapa menggeluti tradisi menenun itu. Ia hanya ingat belajar menenun sejak usia 14 tahun, diwariskan dari ibunya.
 
Meski Asih kini sudah usia lanjut, ia tidak kenal lelah untuk memproduksi, juga mewariskan kepada cucu-cucunya agar pekerjaan menenun khas kain tradisional adat Badui terus berlanjut dan dilestarikan.

Dari ketekunannya menggeluti kerajinan tradisional itu, untuk kali pertama ia menciptakan motif kain tenun Janggawari pada 2010 dengan harga tertinggi dibandingkan motif yang lainnya.
 
Produksi kain tenun motif Janggawari itu cukup rumit, selain bahan bakunya dari sutra, juga proses pembuatanya memerlukan kehati-hatian tinggi agar tidak menimbulkan kerusakan, khususnya pada rajutan benang.

Setelah selesai memproduksi kain tenun motif Janggawari itu, selanjutnya dilakukan pewarnaan secara alami dari dedaunan dan akar pohon.
 
Proses pembuatan pewarna alami memakan waktu selama satu pekan kedepan hingga kain tenun itu tampak halus.

Ia berharap penenun generasi muda, kedepannya terus meningkatkan mutu dan kualitas sesuai persaingan pasar.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Lebak Orok Sukmana mengatakan untuk mewariskan kerajinan Badui kepada generasi penerus pihaknya telah menyalurkan bantuan alat gedokan atau alat penenun yang terbuat dari kayu, sebab para perajin tidak nyaman dengan bantuan berupa alat mesin.
 
Penenun tradisional lebih mudah menggunakan alat gedokan yang menggulung untaian benang dan dirajut hingga menjadi kain, sedangkan sebelumnya perajin menggunakan kapas.
 
Pemerintah Kabupaten Lebak juga mendukung kebijakan para tetua adat Badui bahwa setiap anak yang mau menikah wajib memiliki ketrampilan memproduksi kain tenun.
 
Selain itu juga pemerintah daerah membantu promosi dan pemasaran, seperti mengikutkan pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ) Jakarta juga pameran-pameran yang dilaksanakan pemerintah daerah dan provinsi.
 
Selain itu pemerintah juga diperkenalkan produk tenun Badui kepada tamu dari pejabat negara, termasuk menteri yang berkunjung ke Pemerintah Kabupaten Lebak.
 
Promosi dan pemasaran juga melibatkan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) setempat hingga ke luar negeri.
 
Produk kain tenun Badui itu memiliki keunggulan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan keunggulan itu memiliki corak serta warna alami.
 
Pemerintah daerah terus mengoptimalkan pembinaan dan pelatihan hingga menfasilitasi magang ke sejumlah daerah, seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
 
Pelatihan kerajinan tenun untuk warga Badui bertujuan meningkatkan mutu dan kualitas, di antaranya menggunakan bahan baku benang dari Majalaya, Bandung, tidak lagi menggunakan bahan kapas, seperti sebelumnya..
 
 
Berkembang

Penenun kain tradisional di permukiman masyarakat Badui itu tumbuh dan berkembang, tersebar di 68 perkampungan hingga mencapai 1.500 orang.
 
Sebelumnya, pada 2017 jumlah penenun di permukiman Badui sekitar 450 orang, namun kini hampir di semua perkampungan terdapat penenun antara 10-25 orang.
 
Dari 1.500 penenun itu diperkirakan berusia 55-65 tahun sekitar 200 orang, usia 35-55 sebanyak 400 orang dan usia 14-35 mencapai 900 orang. Artinya komposisi generasi muda masih mendominasi, sehingga kita optimistis mengenai keberlanjutan produksi kain tradisional tersebut.
 
Para penenun itu memproduksi aneka ragam motif dan corak yang memiliki nilai seni alami, sebab masyarakat Badui sangat mencintai alam sebagai filosofi kehidupan.

Karena itu, motif dan corak kain Badui tentu selalu berbeda dengan penenun dari daerah lain di Tanah Air.
 
Kain tenun Badui memiliki 25 motif dan corak yang mengandung makna kecintaan mereka terhadap lingkungan alam, juga kebaikan, kerukunan, dan kedamaian sesama manusia.
 
Di antara motif dan corak itu ada poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket dan smata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka).
 
Selain itu juga motif adu mancung, serta motif aros yang terdiri dari aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus.
 
Motif dan corak warna kain tenun Badui itu dipastikan kedepannya bertambah seiring perkembangan zaman, dimana masyarakat Badui tempo dulu memproduksi tenun dari kapas dan hanya untuk kebutuhan keluarga tanpa diperjualbelikan.
 
Mengikuti perkembangan zaman, kini, kain tenun Badui sudah dipasarkan secara konvensional di kawasan Badui yang mengandalkan dari kunjungan wisatawan, juga ada yang mulai memanfaatkan media sosial.
 
Selain yang dijual di rumah-rumah warga yang diminati oleh wisatawan domestik dan mancanegara, kain ternun Badui juga menembus pasar dunia berkat kerja sama lembaga kementerian, para pemangku kepentingan, dan pengusaha.
 
Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lebak juga ikut mempromosikan kain tenun Badui ke sejumlah negara, khususnya di Benua Eropa.
 
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama dengan kalangan pengusaha dan kalangan disainer muda telah berhasil membawa kain tenun Badui ke ajang fesyen dunia, yakni "London Fashion Week" di London, Inggris.
 
Bahkan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2017 menetapkan motif dan corak kain tenun Adu Mancung memperoleh hak paten dan dilindungi hak cipta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Hak cipta itu diberikan kepada lembaga adat Badui.
 
 
Lestari
 
Produksi kain tenun Badui sejak dulu hingga kini umumnya dilakukan kaum perempuan, dengan melibatkan anak dan cucu untuk menopang perekonomian keluarga, sedangkan kaum laki-laki lebih banyak bercocok tanam di ladang.
 
Upaya pelestarian kain tenun khas Badui itu mulai disadari oleh masyarakat setempat, termasuk tetua adat, sehingga mereka dengan tekun mewariskan keterampilannya kepada anak cucunya. Dengan demikian, kekayaan budaya berupa kain tenun Badui ini terbebas dari ancaman kepunahan.
 
Ketua Adat yang juga Kepala Desa Kanekes Kabupaten Lebak Jaro Oom, saat ditemui di perkampungan yang asri itu bercerita bahwa para tetua adat kini menekankan agar anak-anak perempuan harus memiliki ketrampilan menenun kain tradisional.
 
Semua itu dilakukan karena mereka menyadari bahwa generasi muda merupakan penerus dari kekayaan yang dimiliki oleh suku yang hingga kini masih teguh memegang nilai-nilai adat itu.
 
Pemimpin adat Badui mengapresiasi kepedulian pemerintah daerah yang cukup serius membantu peningkatan kualitas produksi kain tenun Badui melalui pelatihan hingga magang ke sejumlah daerah.
 
Pelatihan kerajinan tenun Badui bertujuan meningkatkan kualitas, di antaranya menggunakan bahan baku benang dari Majalaya, Bandung.
 
Para tetua adat kini sangat optimistis produksi tenun Badui ke depan akan terus lestari, bahkan bisa mendunia, sehingga hal itu akan menjadi peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi generasi penerus untuk menghasilkan produk sesuai dengan tuntutan kuantitas maupun kualitasnya yang tetap terjaga dengan baik.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024