Jakarta (ANTARA) - Satu tahun lalu, tepatnya pada 7 Oktober, menjadi tanggal saat kelompok perjuangan Palestina, Hamas, memutuskan untuk melakukan perlawanan atas kekejian Israel yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.

Perang Israel dengan negara-negara Arab bermula usai deklarasi kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948. Konflik besar meletus antara negara baru Israel dengan negara-negara Arab, terutama populasi Palestina yang tinggal di wilayah tersebut dan menyebabkan sekitar 700.000 orang Palestina mengungsi.

Sejak saat itu, Israel terus berupaya memperluas wilayahnya dengan merebut dan menguasai lebih luas wilayah Palestina melalui beberapa fase, termasuk pada 1967, saat Israel melancarkan serangan militer terhadap negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, dan Suriah.

Pada pagi hari 7 Oktober 2023 waktu setempat, Hamas melancarkan serangan besar-besaran yang terkoordinasi, mencakup penembakan roket ke wilayah Israel seperti Tel Aviv dan Yerusalem, serta serangan darat oleh pejuang yang melintasi perbatasan.

Serangan tersebut merupakan langkah yang mengejutkan, mengingat sebelumnya situasi tampak relatif tenang dan dianggap sebagai salah satu serangan terbesar terhadap Israel dalam beberapa tahun terakhir.

Tercatat sekitar 1.000 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya terluka. Serangan tersebut menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur militer dan lokasi yang menjadi target peluncuran roket.

Israel melalui Pasukan Pertahanan Israel (IDF) segera merespons dengan operasi militer besar-besar melalui serangan udara di Gaza dan mobilisasi pasukan untuk menghadapi ancaman. Akibatnya, ketegangan meningkat dan pertempuran berkepanjangan berlangsung di berbagai lokasi

Selama operasinya, IDF melakukan ribuan serangan udara di Gaza yang menewaskan warga sipil terutama wanita dan anak-anak. Rumah sakit, kamp pengungsi, masjid, pasar, hingga fasilitas pendidikan menjadi target serangan Israel.

IDF juga mengklaim bahwa mereka telah menemukan pos militer Hamas berupa terowongan yang disebutnya berada di bawah bangunan sipil. Keyakinan mereka itulah yang kemudian menjadi dalih untuk menyerang fasilitas sipil, seperti Rumah Sakit Al-Shifa.

IDF dengan bangganya pernah merilis video yang menunjukkan bahwa mereka menggunakan tubuh rakyat Palestina yang tidak bersalah sebagai tameng yang diletakkan di bagian depan kendaraan militernya.

Serangan tanpa henti dan tanpa pandang bulu Israel itu menyebabkan hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi di tengah blokade yang menyebabkan kelangkaan parah terhadap bahan makanan, air bersih dan obat-obatan.

Mengenal kelompok perjuangan Palestina

Mungkin ada yang berpendapat bahwa perang Israel di Gaza yang kini meluas ke berbagai daerah disebabkan oleh tindakan Hamas yang didirikan pada 1987 itu.

Namun, sejatinya, serangan kelompok tersebut merupakan bentuk perlawanan dengan tujuan mengakhiri pendudukan Israel dan mendirikan negara Palestina di seluruh wilayah yang dianggap sebagai tanah Palestina.

Hamas merupakan akronim dari Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah. Didirikan oleh Sheikh Ahmed Yassin sebagai sayap Palestina dari Ikhwanul Muslimin, Hamas telah menguasai Jalur Gaza pada 2007 setelah memenangkan Pemilu Palestina pada 2006.

Perjuangan Hamas tidak hanya pada 2023. Salah satu yang terbesar pada 2008, saat Israel melancarkan serangan karena gagal menyelamatkan petinggi militernya yang diculik Hamas untuk ditukar dengan para tawanan Palestina.

Kelompok paramiliter Palestina di Jalur Gaza berkonflik senjata selama 3 minggu dengan IDF pada 27 Desember 2008--18 Januari 2009 dan berakhir dengan gencatan senjata sepihak.

Lalu, pada 4 November, IDF melanggar gencatan senjata dengan menyerbu Deir al-Balah, Gaza tengah dengan alasan serangan pendahuluan sebelum Hamas menculik lebih banyak tentara Israel. Akibatnya, upaya memperbarui gencatan senjata antara kedua belah pihak tidak berhasil.

Organisasi perjuangan Palestina tidak hanya Hamas, masih ada beberapa kelompok lain yang berjuang untuk hak-hak rakyat Palestina dan pembentukan negara Palestina yang merdeka.

Sebelum Hamas terbentuk, Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organization (PLO) sudah terlebih dahulu didirikan pada 28 Mei 1964 dalam sebuah konferensi yang diadakan di Kairo, Mesir dengan inisiatif Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser.

PLO memiliki tujuan untuk menyatukan berbagai kelompok Palestina sembari memperjuangkan hak-hak pengungsi Palestina dan perlindungan hak asasi manusia.

Awalnya, PLO menerapkan strategi bersenjata dan gerilya dalam perjuangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, terutama di bawah kepemimpinan Arafat, organisasi itu mengubah arah dengan mengadopsi pendekatan diplomatik.

Berusaha mendapatkan pengakuan lebih luas untuk negara Palestina di forum internasional, termasuk PBB, organisasi tersebut terdiri atas berbagai kelompok politik dan militer, di antaranya Fatah (kelompok terbesar) dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP).

Salah satu capaian dalam proses perdamaian yang dilakukan PLO adalah Perjanjian Oslo yang dihasilkan pada 1993 di Washington DC dan di Mesir pada 1995, setelah diawali proses rahasia di Oslo, Norwegia.

Tujuannya, mencapai perjanjian perdamaian berdasarkan Resolusi 242 dan Resolusi 338 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memenuhi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Hasil besar dari Perjanjian Oslo adalah saling pengakuan antara PLO dan Israel. PLO diakui sebagai perwakilan sah rakyat Palestina dan keduanya menyepakati batas-batas wilayah Israel dan Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Keduanya juga menyetujui pembentukan Otoritas Palestina (PA) yang diberikan sejumlah kekuasaan pemerintahan di wilayah tertentu.

Fatah sebagai kelompok terbesar dalam PLO yang didirikan oleh Yasser Arafat pada 1950-an, memegang kendali dalam membentuk Otoritas Palestina (PA) dan memiliki kekuasaan untuk mengelola beberapa wilayah Palestina, terutama di Tepi Barat.

Namun, Israel, dengan mulut manisnya, memilih untuk mempertahankan kendali atas tanah Arab yang didudukinya setelah Perang 1967, baik Jalur Gaza, Tepi Barat, maupun dataran tinggi Golan di Suriah. Perjanjian Oslo, nihil.

Hamas yang pecah kongsi dengan PLO karena menilai Perjanjian Oslo tidak sejalan dengan prinsipnya yang tidak ingin memberikan sejengkal tanah kepada Israel pun, perlahan mendapatkan popularitas dan otomatis meredupkan posisi Otoritas Palestina.

Ketegangan antara Hamas dan Fatah menjadi perpecahan politik usai Hamas memenangi pemilihan legislatif pada 2006 dan membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan Ismail Haniyeh. Hamas menguasai Jalur Gaza, sementara Fatah menguasai Tepi Barat.

Satu demi rakyat Palestina

Palestina masih memiliki beberapa kelompok lain yang sama-sama bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah Palestina, meski memiliki pendekatan yang berbeda.

Ada Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang ingin menyingkirkan kapitalisme Barat dari Timur Tengah dengan serangkaian aksi pembajakan fenomenal seperti pembajakan sejumlah pesawat komersial yang menuju Tel Aviv dan pembajakan Dawson’s Field dengan mengumpulkan sejumlah pesawat di Yordania.

Kemudian, ada Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP) yang dibentuk sebagai cabang dari PFLP pada 1969, hanya 2 tahun berselang setelah lahirnya PFLP pada 1967 akibat adanya konflik ideologis.

Kendati memiliki prinsip dan pendekatan yang berbeda, seluruh kelompok terus berjuang dengan caranya masing-masing, terutama sejak genosida meningkat, penyerangan yang semakin intensif, serta blokade terhadap akses makanan, air, dan obat-obatan pasca 7 Oktober 2023.

Hamas tentu saja terlibat dengan bentrokan sengit dengan Israel. Contohnya pada 28 Juni, saat peluru antitank Yasin 105 buatan lokal menargetkan dua tank Merkava-4 Israel di Shejaiya dan Rafah yang berada di Jalur Gaza selatan.

Pada 12 Juli mereka kembali menyerang dua tank Merkava-4 Israel dan pasukan yang ditempatkan di wilayah Koridor Netzarim, Gaza tengah.

Demi menghentikan genosida Israel dan mengusir Zionis dari tanah mereka, sebanyak 14 kelompok Palestina termasuk Hamas, Fatah, PFLP, dan DFLP, sepakat untuk mencapai persatuan nasional yang komprehensif di bawah naungan PLO, melalui pertemuan di Beijing, China pada 22 Juli 2024.

Hampir satu tahun berlalu, sudah lebih dari 41.800 orang--mayoritas perempuan dan anak-anak-- terbunuh. Selain itu, sebanyak 96.800 orang terluka akibat serangan Israel yang secara membabi buta menargetkan fasilitas penampungan warga.

Pasukan Israel juga kerap memerintahkan warga Palestina segera melakukan evakuasi dengan alasan mereka akan menyerang wilayah tersebut, padahal sebelumnya daerah itu disebutnya sebagai zona kemanusiaan yang aman.

Di sisi lain, Hamas yang sudah menunjukkan niat untuk menandatangani gencatan senjata sementara sesuai dengan kesepakatan yang tertuang pada proposal yang telah disiapkan oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Mei.

Namun, lagi-lagi, Israel kembali berulah dengan menambahkan persyaratan lain dan tidak mau berkompromi yang dinilai Hamas hanya akan menguntungkan Israel dan memperpanjang genosida.

Keculasan sikap Israel yang dipimpin oleh Kepala Otoritas Benjamin Netanyahu itu bisa saja berarti bahwa Israel memang tidak menginginkan gencatan senjata permanen agar bebas menyerang Gaza dan menduduki wilayah Palestina.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024