Mahkamah memberi ruang baru partisipasi masyarakat sipil mengawal pemilu dan pilkada, bukan hanya mengawal hari H, tapi sejak awal
Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, Mahkamah Konstitusi memberi ruang partisipasi bagi masyarakat sipil untuk mengawal pemilu maupun pilkada, melalui uji materi (judicial review), demi memastikan adanya kerangka hukum yang demokratis.

“Mahkamah memberi ruang baru partisipasi masyarakat sipil mengawal pemilu dan pilkada, bukan hanya mengawal hari H, tapi sejak awal,” ucap Titi dalam webinar bertajuk Peran Civil Society dalam Mewujudkan Pilkada yang Jujur dan Adil yang diikuti secara daring dari Jakarta, Jumat.

Ketika hukum kepemiluan ternyata bertentangan dengan prinsip konstitusional, masyarakat sipil bisa mengambil langkah untuk memperjuangkan regulasi yang berkeadilan dan menjamin praktik pemilihan yang demokratis ke MK.

Dalam hal ini, Titi mencontohkan dampak dari Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Menurut dia, putusan tersebut mengubah konfigurasi politik lokal karena MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, sehingga terdapat daerah yang batal bercalon tunggal di Pilkada 2024.

“Dengan kehadiran MK, peran masyarakat sipil menjadi jauh lebih besar bahkan bagaimana masyarakat sipil sejak dari hulunya mengawal agar kerangka hukum pemilu, baik undang-undang maupun regulasi teknisnya, itu betul-betul demokratis dan mampu menghadirkan kompetisi yang jujur, adil, dan bebas,” kata dia.

Titi menyebut, MK dengan peran judicial review-nya itu mempunyai andil besar dalam membentuk hukum kepemiluan yang demokratis. Akan tetapi, dia tidak memungkiri terdapat putusan MK yang kontroversial, seperti syarat usia calon presiden dan wakil dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan, pemilu ataupun pilkada merupakan rangkaian proses yang tidak serta-merta sampai kepada hari pemungutan suara. Setidaknya terdapat tiga level proses pemilihan, yakni rule making (pembuatan aturan main), rule application (pengaplikasian aturan yang sudah dibuat), dan rule adjudication (penyelesaian masalah).

Serangkaian proses tersebut perlu dikawal demi memastikan terciptanya pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Masyarakat sipil, kata dia, memiliki peran penting dalam mengawal keseluruhan proses tersebut.

“Kepedulian kita harus melampaui bilik suara. Kepedulian kita harus melampaui pungut dan hitung. Kita juga harus pastikan keseluruhan rangkaian,” ucap Titi.

Di sisi lain, dia juga mengutarakan, cita-cita Indonesia Emas hanya akan terwujud melalui pemerintahan yang antikorupsi. Adapun pemerintahan yang antikorupsi itu bisa terwujud jika pemilu berlangsung tanpa kecurangan.

“Pemerintahan yang terbentuk dari pemilu bersih itu tidak akan pernah terwujud kalau masyarakat sipilnya tidak dinamis dan tidak bisa berpartisipasi secara bermakna,” katanya pula.

Pada webinar yang mayoritas dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Hukum itu, Titi mengatakan bahwa aktivisme hukum tidak harus menunggu seseorang menjadi sarjana hukum. Aktivisme hukum, imbuh dia, bisa dimulai ketika rasa keadilan tergugah akibat adanya aturan yang bertentangan dengan konstitusi.

“Keadilan itu memang harus diperjuangkan. Pemilu yang bebas dan adil itu tidak bisa ditunggu di bilik suara,” ucap dia.

Baca juga: Mahasiswa perantau persoalkan aturan pindah TPS dalam UU Pilkada ke MK
Baca juga: KPI sosialisasikan SE soal penyiaran kampanye pilkada pada Oktober ini

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024