Jakarta (ANTARA) - Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mengecam tindak kekerasan di area pesantren, seperti yang dialami oleh santri bernama Teuku asal Aceh yang mendapat tindak kekerasan usai dirinya ketahuan merokok.

“Kami mengecam peristiwa dugaan tindak kekerasan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Aceh Barat. Seorang santri bernama Teuku (15) menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan istri pimpinan pesantren berinisial NN (40), pada Senin, 30 September 2024,” kata Koordinator Nasional JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin melalui keterangan resminya, Jumat.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh istri dari pendiri pesantren dengan menggunakan air yang dicampurkan cabai ke tubuh santri dan juga menggunduli kepala korban, membuat Teuku mengalami luka fisik dan trauma.

“Akibat dari tindakan itu, korban mengalami luka fisik dan trauma, sehingga harus menerima perawatan intensif,” ucap dia.

Baca juga: Kemenag Sukoharjo minta klarifikasi pondok buntut kekerasan santri

Baca juga: KemenPPPA pantau penanganan kasus pencabulan santri di ponpes Agam


Untuk menyikapi hal tersebut, JPPRA secara tegas menolak segala bentuk kekerasan terhadap santri di lingkungan pesantren, baik fisik maupun psikis.

Kekerasan tidak pernah dapat dibenarkan sebagai bentuk disiplin dalam lembaga pendidikan, terutama pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendidik.

JPPRA juga sangat menghormati hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan salah, eksploitasi, serta kekerasan fisik dan mental.

Secara tegas pihaknya juga mendukung proses hukum yang adil atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum di area kawasan pesantren dimanapun tanpa pandang buluh.

“Kami mendukung penuh langkah-langkah aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini dengan adil dan transparan, serta memastikan pelaku mendapatkan sanksi yang sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujar dia.

Pihaknya juga mendesak adanya evaluasi sistem pendidikan pesantren, khususnya terkait metode pendisiplinan santri. Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis pendidikan, yang dapat membangun karakter santri tanpa melibatkan kekerasan.

Pihaknya juga mengajak seluruh pesantren di Indonesia untuk memperkuat komitmen mereka dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak. Pendidikan berbasis kasih sayang dan dialog, harus menjadi prioritas utama dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berkualitas.

“Kami berharap kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem di pesantren demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi para santri,” kata dia.*

Baca juga: KPAI sarankan santri korban kekerasan seksual di Agam divisum

Baca juga: JPPA gandeng tiga perguruan tinggi dampingi santri korban kekerasan


Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024