Sleman (ANTARA) - Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menolak rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merk karena dikhawatirkan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Kami komitmen untuk terus memperjuangkan nasib dan melindungi mata pencaharian para anggota yang bekerja di industri tembakau," kata Ketua Pimpinan Daerah (PD) FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto, di Sleman, Jumat.

Menurut dia, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang akan menyeragamkan seluruh kemasan rokok atau dikenal dengan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek mengancam mata pencarian mereka.

"Kami dengan tegas menolak pasal bermasalah pada PP Kesehatan dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada rancangan Permenkes. Aturan ini akan mengancam sumber mata pencarian kami, padahal gelombang PHK sedang marak terjadi di mana-mana," katanya.

Ia mengatakan, bekerja di industri tembakau adalah kebanggaan bagi anggota FSP RTMM-SPSI DIY yang mencapai sekitar 5.250 orang, karena merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal.

"Mayoritas anggota kami yang bekerja di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Saat ini, tidak ada lapangan kerja lain yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas selain industri tembakau," katanya.

Waljid mengatakan, saat ini industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan berat. Di antaranya, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) yang melarang penjualan rokok dalam radius 200-meter dari satuan pendidikan dan pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter.

"Permasalahan itu belum selesai, muncul Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik pada masa transisi pemerintahan," katanya.

Ia mengatakan, saat ini industri tembakau tengah berupaya pulih dan menunggu realisasi kebijakan cukai 2025 yang dikabarkan tidak naik.

"PD FSP RTMM-SPSI DIY memandang bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 merupakan langkah yang tepat, namun keputusan itu diharapkan tidak menjadi justifikasi pemerintah untuk menaikkan cukai tembakau secara drastis pada 2026," katanya.

Calon Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mengajak semua pihak untuk melihat pertembakauan dari sudut pandang positif. Sebab, selama ini tembakau telah memberikan banyak manfaat, di antaranya melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Selain PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, Danang menyoroti soal Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang harus mempertimbangkan banyak hal sebelum diterbitkan.

"Perlu dipahami bahwa belum semua fasilitas umum di Kabupaten Sleman siap untuk menghadapi aturan ini. Perda itu bukan melarang, tapi mengatur. Makanya kita tidak buru-buru untuk menerbitkan aturan ini," katanya.

Danang khawatir jika kebijakan yang ketat berpotensi mengancam serapan tenaga kerja dan munculnya ancaman PHK. Bahkan, dampaknya akan meluas ke luar sektor pertembakauan.

"Buruh rokok ada sekitar 1.500, artinya mereka menggantungkan nasibnya di pabrik rokok. PHK di Sleman meningkat dari pabrik tekstil, harapannya pabrik rokok justru ditambah untuk menampung korban PHK," katanya.

Baca juga: GAPPRI: Kemasan polos berdampak negatif bagi industri rokok nasional
Baca juga: Asosiasi nilai kemasan polos bisa lemahkan industri rokok elektronik

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024