Jangan sampai mata rantai kehidupan di alam itu ada yang hilang dan terputus. Kalau terjadi, kesetimbangan alam pun terganggu...

Di sejumlah negara, terutama Tiongkok, daging trenggiling menjadi bahan kosmetik, obat kuat, dan sajian restoran. Sisiknya yang mengandung tramadol hydrochloride diolah menjadi bahan pembuatan shabu-shabu.

Harga daging dan sisik trenggiling terus naik hingga mencapai jutaan rupiah per kilogram karena permintaan terus meningkat, dan itu membuat perburuan trenggiling semakin marak, termasuk di Kalimantan Barat.

Nasib burung rangkong atau enggang tak jauh berbeda. Burung ini menjadi buruan karena cairan di lidahnya diyakini mengandung zat yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

Saat lokakarya tentang lingkungan di Pontianak beberapa waktu lalu, Albertus Tjiu dari WWF Indonesia Program Kalimantan Barat mengatakan bahwa satu paruh rangkong harganya bisa mencapai Rp10 juta di Malaysia

Di tangan pemburu lokal, beberapa tahun lalu, harga paruh rangkong Rp800 ribu per buah. Kini harganya sampai Rp4 juta per buah.

Hukum pasar pun berlaku. Harga yang menggiurkan itu membuat orang terus memburu rangkong, meningkatkan tekanan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia, yang sudah terancam akibat kerusakan lingkungan.

Data Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menunjukkan Indonesia mengalami kerugian lebih dari Rp9 triliun per tahun akibat perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi.

Sementara di pasar global, nilai perdagangan ilegal satwa liar berkisar 10 miliar dolar AS hingga 20 miliar dolar AS per tahun, atau terbesar kedua setelah bisnis narkoba.

Asia Tenggara merupakan sumber keanekaragaman hayati. Tidak mengherankan jika negara-negara di kawasan seperti Indonesia, Kamboja, Malaysia, menjadi sumber utama perdagangan satwa liar dilindungi. Sementara Tiongkok, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam menjadi negara tujuan.

Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia), termasuk dalam rute perdagangan ilegal satwa-satwa liar yang dilindungi.

Satwa-satwa liar yang dilindungi kadang dipalsukan jenisnya, disembunyikan di dalam kontainer atau tas, diangkut menggunakan kapal, atau dibawa bersamaan dengan penyelundupan kayu.


Penegakan Hukum

Kepala Seksi Keamanan Negara dan Ketertiban Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat Sri Budi Santoso menuturkan, aparat penegak hukum sebenarnya tidak "tutup mata" melihat perdagangan ilegal satwa dilindungi.

Setidaknya ada tujuh perkara terkait perdagangan ilegal satwa liar dilindungi yang berkasnya masuk ke kejaksaan di Kalimantan Barat.

Sebagian pelakunya sudah dijatuhi vonis hukuman, ada juga yang berkas perkaranya dikembalikan ke penyidik karena belum lengkap.

Namun secara keseluruhan, ada sekitar 31 kasus yang belum tuntas, sebagian sudah bertahun-tahun. "Bahkan ada yang lebih dari 10 tahun," kata Sri Budi Santoso.

Menurut aturan, setelah diterima dari penyidik, maksimal 14 hari untuk ditindaklanjuti. "Kalau belum lengkap, bisa dikembalikan sampai alat dan barang bukti lengkap," katanya.

Sementara di sisi sang pengadil, masih minim hakim yang mempunyai lisensi di bidang hukum lingkungan.

"Yang berhak menyidangkan kasus-kasus seperti itu, adalah hakim yang sudah mempunyai sertifikat sebagai hakim lingkungan dari Mahkamah Agung," kata Suripto, hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Pontianak.

Suripto termasuk satu dari tiga hakim tinggi di Kalimantan Barat yang sudah mendapat sertifikat tersebut.

Hakim lingkungan diberi keleluasaan untuk menentukan norma hukum yang tidak diatur dalam Undang-Undang.

"Hakim lingkungan dapat menentukan dan menggali nilai-nilai hukum yang terkait lingkungan hidup tidak tertulis yang hidup di masyarakat sesuai dengan prinsip dan aturan hukum," katanya menjelaskan.

Menurut Suripto, dari segi hukum, untuk penanganan kasus-kasus terkait lingkungan hidup, Indonesia sudah cukup lengkap.

Secara umum, ada delapan jenis perkara lingkungan hidup. Di antaranya pelanggaran tata ruang yang mengakibatkan perubahan dan pencemaran lingkungan, kerusakan laut dan biota laut, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, tambang dan tambang ilegal, kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar dan pembukaan hutan, serta alih fungsi lahan.

"Masing-masing kelompok, dilengkapi dengan berbagai aturan yang terkait," kata Suripto.

Meski di Kalimantan Barat banyak terjadi kerusakan lingkungan, namun Suripto menyadari bahwa sangat sedikit pelaku yang diajukan ke pengadilan.

Padahal hak gugat perkara perdata lingkungan dapat diajukan oleh perorangan, badan usaha (hukum dan non badan hukum), pemerintah dan/atau pemerintah daerah.


Kembali ke Hukum Adat?

Albertus Tjiu punya contoh menarik soal penanganan pelanggaran hukum yang mengancam keanekaragaman hayati di Kabupaten Kapuas Hulu.

Tahun 2010, terjadi penembakan orangutan dari subjenis Pongo pygmaeus pygmaeus di sana. Kejadian serupa sebelumnya telah terjadi beberapa kali.

Warga dari Dusun Ukit-ukit, Desa Labian, Kecamatan Batang Lupar, kemudian melapor ke WWF - Indonesia Kantor Putussibau.

Lalu mereka berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti Kepolisian Resor Kapuas Hulu, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun, Resor Kapuas Hulu Balai KSDA Provinsi Kalimantan Barat, tokoh adat Ketemenggungan Tamambaloh Labian, dan perangkat Desa Labian.

Tokoh adat dan perangkat Desa Labian ingin para pelaku mendapat peringatan keras untuk tidak melakukan perburuan dan pembunuhan terhadap orangutan dan satwa liar dilindungi lainnya.

Para pihak kemudian sepakat untuk melakukan semacam persidangan semu yang mengkombinasikan kesepakatan adat dan hukum formal terkait perlindungan satwa liar dilindungi. Proses ini merupakan bagian dari strategi para pihak untuk membangun efek jera kepada para pelaku perburuan.

Para pelaku kemudian menandatangani pernyataan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut dan bersedia diproses secara hukum jika masih melakukan tindakan yang sama.

Danau Nanga Empangau, Kabupaten Kapuas Hulu, dikenal sebagai salah satu habitat alam ikan arwana. Masyarakat setempat memberlakukan hukum adat secara ketat.

Pada Maret 2006, di Danau Lindung Empangau terjadi pencurian tiga induk ikan arwana. Pelaku, yang ternyata warga setempat, mendapat hukuman denda. Pelaku dan keluarganya juga diusir dari Desa Nanga Empangau.

Tjiu mengakui, dalam kasus tersebut hukum adat menjadi lebih efektif diterapkan di masyarakat. "Namun, tidak semua daerah mempunyai hukum dan sanksi adat," katanya.

Menurut dia, mengombinasikan hukum positif dan hukum adat menjadi langkah terbaik untuk menjaga keanekaragaman hayati terutama yang masuk kategori terancam punah dari perburuan.

"Masih banyak kekayaan alam di kawasan hutan Kalimantan yang belum diteliti," ujar Tjiu.

Ia yakin setiap makhluk berperan penting dalam struktur ekologi alam.

"Jangan sampai mata rantai kehidupan di alam itu ada yang hilang dan terputus. Kalau terjadi, kesetimbangan alam pun terganggu," demikian Albertus Tjiu.

Oleh Teguh Imam Wibowo
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014