Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN Henni Widyastuti memandang perlu adanya pertukaran atau pengelolaan data bersama yang dilakukan antarnegara untuk menegakkan pengawasan keamanan (safety) dan kualitas (quality) pangan.
“Masalah terkait food safety dan quality ini merupakan permasalahan yang global, antarnegara dan lintas yurisdiksi. Jadi untuk melakukan penegakan pengawasan, kita juga perlu melakukan koordinasi dan kerja sama dengan negara lain yang mencakup juga pertukaran data atau pengelolaan data bersama,” kata Henni dalam webinar di Jakarta, Jumat.
Saat ini, pendeteksian pemalsuan pangan (food fraud) telah memanfaatkan teknologi nuklir dengan tingkat akurasi dan ketepatan yang tinggi. Namun, kata Henni, ketersediaan database pangan yang tertelusur dengan teknologi tersebut masih terbatas sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri.
Menurut dia, database itu diperlukan agar bisa membandingkan produk-produk yang diduga dipalsukan atau produk-produk premium yang berasal dari negara tertentu. Di sisi lain, ketersediaan database yang masih menjadi tantangan ini dapat dimaklumi mengingat pemanfaatan teknologi nuklir ini dapat dikatakan masih baru.
“Kalau kita impor produk yang memiliki klaim premium dari negara A, itu kan kita harus membandingkan dengan data-data produk yang ada di negara A. Database-nya itu masih menjadi PR untuk penggunaan teknologi nuklir ini. Karena ini juga termasuk teknologi yang baru dibandingkan teknologi yang lainnya,” kata Henni.
Meski begitu, menurut dia, saat ini Indonesia juga sedang berupaya membangun database tersebut melalui kerja sama multilateral termasuk dengan Australia Nuclear Science Technology Organization (ANSTO), Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA), hingga International Atomic Energy Agency (IAEA).
“Goals dari setiap kerja sama ini adalah untuk bagaimana kita membangun suatu database yang akan menjadi rujukan untuk metode ketertelusuran dari produk pangan,” tutur Henni.
Ia mengingatkan, keamanan dan kualitas pangan merupakan isu yang terus mendapat perhatian global dan terus berkembang. Apalagi resistensi antimikroba menjadi kekhawatiran tersendiri di negara-negara maju yang banyak mengimpor komoditas dari negara lain. Hal ini menyebabkan permintaan konsumen terhadap ketertelusuran pangan semakin meningkat.
“Mereka khawatir terhadap makanan yang mereka makan aman atau tidak, memiliki alergenitas atau tidak, kemudian kandungan logam beratnya, nutrisinya, dan lain sebagainya,” ujar dia.
Henni juga mengingatkan adanya tantangan bagi Indonesia mengenai potensi penolakan ekspor yang terkait dengan mislabeling. Beberapa produk yang diekspor mungkin tidak sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan pengimpor sehingga produk tersebut dikembalikan lagi ke negara pengekspor.
Namun, tegas Henni, ketertelusuran untuk keamanan dan kualitas pangan tidak hanya berlaku untuk komoditas pangan ekspor dan impor saja. Konsumen dalam negeri juga berhak untuk produk yang sesuai dengan klaim.
“Di sisi ekspor, penegakan integritas ini akan membantu untuk mendorong peningkatan ekspor nasional kita, terutama ke negara-negara yang persyaratan ekspornya itu sangat ketat seperti Uni Eropa. Sementara di sisi impor, Indonesia juga perlu memastikan apakah produk-produk yang diimpor itu memang produk-produk yang memenuhi standar keamanan pangan dan kualitas pangan yang baik,” kata Henni.
Baca juga: Luhut: Pusat riset genom di Danau Toba dibangun dukung keamanan pangan
Baca juga: BRIN-BPOM kaji manfaatkan AI awasi makanan olahan sebelum dipasarkan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024