Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengawal penanganan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh seorang oknum anggota DPRD terpilih berinisial HA di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
"Kami pun mendorong agar aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman maksimal kepada terduga pelaku atas tindakannya yang tidak hanya merugikan korban, namun juga dapat menimbulkan akibat yang luar biasa, seperti stigma lingkungan, gangguan psikologis berupa trauma berkepanjangan, dan juga gangguan seksual. Keluarga korban juga berharap proses hukum dapat segera memberikan keadilan," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Selain berkoordinasi dengan kepolisian, KemenPPPA bersama Kompolnas juga bertemu langsung dengan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) sekaligus memberikan dukungan kebutuhan spesifik bagi anak.
Pihaknya berdiskusi dengan para pendamping anak untuk memahami situasi korban secara lebih mendalam.
Para pendamping memiliki peran penting dalam memastikan bahwa proses pemulihan berjalan dengan baik dan hak-hak anak terpenuhi.
"Kami menekankan pentingnya pemenuhan hak anak, termasuk hak mendapatkan layanan perlindungan, pendampingan psikologis, dan hak restitusi berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menghitung kerugian yang dialamiAMP). Hal ini diharapkan dapat membantu korban dalam proses pemulihan dan dampak lainnya," kata Nahar.
KemenPPPA mendukung penggunaan ancaman hukuman bagi pelaku jika memenuhi unsur Pasal 76D dan Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 dengan hukuman sesuai Pasal 81 Ayat (2) dan Pasal 82 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, dan Pasal 6 Huruf c UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Nahar menambahkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menegaskan bahwa penyelesaian perkara TPKS tidak dapat dilakukan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak diselesaikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Baca juga: KPU cek pelaku kekerasan seksual dilantik jadi anggota DPRD Singkawang
Baca juga: Komisi III prihatin pelaku kekerasan seksual dilantik DPRD Singkawang
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024