Jakarta (ANTARA) - Indonesia AIDS Coalition (IAC) dan sejumlah mitra mengajukan banding ke Komisi Banding Paten Kementerian Hukum dan HAM untuk membatalkan paten yang diberikan kepada Gilead Sciences, sebuah perusahaan farmasi multinasional, untuk obat HIV Lenacapavir.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana mengatakan bahwa banding paten ini penting untuk memastikan akses ke pengobatan yang optimal bagi orang dengan HIV (ODHIV), termasuk melalui produksi generik lokal, juga untuk keberlanjutan dari program HIV-AIDS nasional di Indonesia.

Baca juga: IAC: RUU Paten dapat picu monopoli paten oleh perusahaan farmasi

“Akses pada pengobatan adalah kunci, dan Lenacapavir, sebagaimana yang disampaikan oleh UNAIDS, memiliki potensi untuk membantu mengakhiri epidemi AIDS,” kata Aditya.

Dia menjelaskan Lenacapavir adalah obat antiretroviral (ARV) long-acting yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Amerika Serikat, Gilead Sciences. Long-acting, berarti jenis ARV ini tidak perlu diminum setiap hari, yang mana Lenacapavir diberikan dalam bentuk dua kali suntikan per tahun.

Dia menilai pengumuman dari Gilead mengenai lisensi sukarela yang diberikan kepada enam perusahaan untuk memproduksi Lenacapavir versi generik masih belum cukup untuk memastikan akses yang memadai.

Lisensi tersebut, lanjutnya, mengecualikan produsen generik di Indonesia dan mencantumkan beberapa persyaratan anti-persaingan yang ketat, yang memungkinkan Gilead untuk mempertahankan monopoli dan memastikan harga tetap mahal.

Menurutnya, salah satu kunci demi mencapai target global 95-95-95 dalam mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 adalah obat-obatan generasi baru yang lebih efektif, efisien, dan minim efek samping.

Dalam keterangan yang sama, Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ), Lutfiyah Hanim mengatakan perusahaan farmasi besar seringkali melakukan praktik patent evergreening, yaitu mengajukan beberapa paten untuk komponen yang sama, untuk memperpanjang perlindungan paten melampaui jangka waktu standar 20 tahun.

Baca juga: Orang dengan HIV AIDS terancam tidak bisa konsumsi obat antiretroviral

Baca juga: Pemerintah targetkan tidak ada lagi kasus infeksi HIV baru pada 2030


"Paten Lenacapavir berakhir pada tahun 2034 di Indonesia, tetapi jika paten sekunder disetujui, monopoli akan diperpanjang hingga 2037. Karena itu, upaya banding paten yang dilakukan oleh komunitas HIV ini menjadi penting untuk menghentikan monopoli," katanya.

Saat ini, kata Hanim, Lenacapavir dijual dengan harga 42.250 dolar AS per orang per tahun (PPY), atau sekitar Rp 640 juta. Harga yang amat mahal ini membuat Lenacapavir tidak terjangkau bagi jutaan ODHIV di dunia, termasuk Indonesia.

"Saat ini, program HIV-AIDS nasional, yang mencakup 503.261 ODHIV, disubsidi penuh oleh Pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah tidak dapat mengakomodasi pengadaan ARV dengan harga yang mencapai ratusan juta per orang," dia menuturkan.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024