Saya pikir hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Batasan-batasan politisasi agama dalam Pilpres sudah ada di KPU, seperti larangan memakai tempat ibadah untuk kampanye. Tapi kalau melafalkan shalawat sebelum pidato itu tidak termasuk politisasi agama,
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin tidak mempermasalahkan calon presiden atau calon wakil presiden yang melafalkan doa pembuka dengan shalawat nabi atau mengutip ayat Al Quran.
"Saya pikir hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Batasan-batasan politisasi agama dalam Pilpres sudah ada di KPU, seperti larangan memakai tempat ibadah untuk kampanye. Tapi kalau melafalkan shalawat sebelum pidato itu tidak termasuk politisasi agama," kata Din di Jakarta, Kamis.
Ia juga menilai penggunaan simbol agama tidak perlu dipermasalahkan jika dipakai oleh capres-cawapres saat berkampanye.
"Seperti jika seorang capres-cawapres menggunakan salam assalamualaikum dalam membuka pidato. Aneh jika capres-cawapres mengucapkan assalamualaikum kemudian digolongkan sebagai politisasi agama," katanya.
"Doa shalawat juga begitu, tidak masuk politisasi karena jika itu dipakai untuk pembuka maka tergolong baik atau tidak mengarah kepada politisasi," kata dia.
Bagi Din, politisasi agama bisa saja terjadi dan akan sangat buruk jika sampai menyangkut masalah yang fundamental. Salah satunya seperti khotbah Jumat dari seorang penceramah yang mengajak jamaah untuk memilih salah satu pasangan.
Pembacaan shalawat nabi sempat dipraktikkan capres Joko Widodo dalam beberapa kesempatan kala berbicara di depan publik. Salah satunya saat prosesi pengambilan nomor urut capres-cawapres di KPU Pusat beberapa waktu lalu.
Jokowi saat itu berupaya menunjukkan pembeda antara dirinya dengan Prabowo Subianto saat mengambil nomor urut dengan membaca doa. Gubernur DKI Jakarta yang sedang cuti itu juga mengawali sambutan dengan salam dan shalawat nabi.
(A061/S024)
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014