karena adanya suatu kenaikan produksi dari bahan-bahan nabati lain yang merupakan kompetitor dari sawit
Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyampaikan, pihaknya telah mengantisipasi berkurangnya pendapatan pungutan dana kelapa sawit di tengah ekspor minyak kelapa sawit dunia (crude palm oil/CPO) yang turun signifikan.

Selain guna memenuhi kebutuhan domestik, ia pun mengakui bahwa saat ini memang terjadi penurunan ekspor CPO karena ketatnya persaingan dengan komoditas minyak nabati lainnya.

“Itu di antaranya disebabkan karena adanya suatu kenaikan produksi dari bahan-bahan nabati lain yang merupakan kompetitor dari sawit, khususnya soya bean (kacang kedelai). Itu produksi yang sangat besar sehingga akibatnya harga turun,” kata Eddy dalam acara Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2024 di Nusa Dua, Bali, Jumat.

Sebagai informasi, nilai ekspor CPO per Juli 2024 sebesar 1,39 miliar dolar AS mengalami penurunan secara bulanan maupun tahunan. Secara bulanan nilai ekspor CPO pada Juli 2024 turun 36,37 persen (mtm) dibandingkan nilai ekspor Juni 2024 sebesar 2,18 miliar dolar AS. Sementara secara tahunan, nilai ekspor CPO pada Juli 2024 juga turun sebesar 39,22 persen (yoy) dibandingkan Juli 2023 sebesar 2,28 miliar dolar AS.

Merespons penurunan ekspor itu, Eddy menilai saat ini pemerintah sudah memiliki solusi. Salah satunya dengan menurunkan tarif pungutan ekspor untuk komoditas kelapa sawit hingga 7,5 persen. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024.

Penentuan tarif pungutan ekspor yang sebelumnya angka pasti sesuai Harga CPO Referensi Kemendag berubah menjadi presentase dari Harga CPO Referensi Kemendag dan sesuai kelompok produk yang akan diekspor.

“Itu tujuannya adalah untuk meningkatkan daya sawit daripada produk sawit kita di pasar-pasar,” ujar Eddy.

Namun, pihaknya akan terus melakukan evaluasi per enam bulan. Apabila sampai akhir tahun belum ada prospek penurunan sekitar Rp2 triliun, maka kemungkinan pemerintah akan merevisi aturan ekspor guna menangani masalah tersebut.

Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menjelaskan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan pengusaha.

Hasilnya dari sisi pelaku usaha baik itu ekspor ataupun penggunaan dalam negerii, esensinya sama bisa terjual.

Namun, bagi petani sawit rakyat kenaikan serta penurunan harga bisa berdampak pada kesejahteraan tandan buah segar (TBS).

“Kita sudah berdiskusi dengan pengusaha ya. Artinya dari sisi mereka kan, baik itu ekspor ataupun digunakan dalam negeri, esensinya sama gitu ya. Nah untuk pendapatan BPDP, nah ini kita lagi menghitung nih, makanya kemarin salah satu isu kenapa ekspor CPO itu menurun, itu karena kita kalah bersaing dengan vegetable oil lainnya. Soya bean sama bunga matahari ya,” ujar Dida.

Ia berharap, competitivenes dari sawit meningkat, di sisi lain dari huluny TBS juga meningkat yang membuat kesejahteraan bagi para petani. Di sisi lain, ada upaya mengintensifikasi program sawit rakyat. Ia menjamin kebutuhan dalam negeri bisa tetap terpenuhi meskipun mendorong ekspor.

“Jadi kita lihat ke depan, saya pikir dengan program intensifikasi kita, dengan peremajaan sawit rakyat dan seterusnya, seharusnya enggak ada trade off. Kebutuhan ekspor tetap kita tingkatkan, kebutuhan dalam negeri juga tetap kita penuhi,” jelasnya.

Baca juga: BPDPKS menilai riset jadi kunci hadapi kampanye hitam sawit RI
Baca juga: Proses perubahan BPDPKS jadi BPDP bakal rampung minggu ini
Baca juga: Pemerintah sebut penyaluran dana peremajaan sawit capai Rp9,66 triliun

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024