Jakarta (ANTARA News) - Pakar ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri memuji pemaparan landasan program ekonomi Calon Presiden Joko Widodo antara lain karena mengedepankan keadilan serta penghapusan kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin.
"Namun apresiasi itu tidak serta merta menyimpulkan bahwa gagasan ekonomi Jokowi sudah tepat secara keseluruhan, melainkan masih banyak gagasan yang perlu dikritik," kata Faisal di Jakarta, Rabu malam.
Ia mencontohkan komposisi kurikulum pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). "Masa untuk tingkat sekolah dasar dan SMP, porsi pengetahuan dan keterampilan kecil sekali," ujar dia.
Joko Widodo atau akrab dengan nama Jokowi itu memang memaparkan tentang reformasi kurikulum pendidikan yang, menurut Faisal sangat menunjang pembanguan ekonomi nasional.
Salah satu perubahan di kurikulum pendidikan itu misalnya komposisi materi jenjang sekolah dasar yakni 80 persen didominasi pembentukan sikap dan karakter dan sisanya adalah keterampilan dan pengetahuan.
Di sisi lain, Faisal memuji cara Jokowi memulai pemaparannya mengenai kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin yang tercermin dalam Koefisien Gini (gini ratio).
Jokowi memaparkan meskipun pertumbuhan ekonomi secara nasional selalu di sekitar enam persen, tingkat kesenjangan antara kalangan kaya dan miskin terus meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 0,35 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2013.
"Jokowi tidak memberi angka. Dia mulai dari "inequality" (ketidakadilan) dan efisiensi. Kemudian yang dibangun adalah sikap dan pengembangan SDM. Ini penting untuk kualitas tenaga kerja," ujarnya.
Dalam paparannya di hadapan ratusan pengusaha, Jokowi memang membagi tiga garis besar gagasan ekonominya yakni pengembangan SDM, ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Mengenai ketahanan pangan, Jokowi antara laain membeberkan janji akan membangun 25 bendungan untuk perbaikan kualitas irigasi pertanian. Dia juga menjanjikan kemudahan petani untuk memperoleh akses pasar serta menjamin ketersediaan bibit, benih dan pestisida.
Sementara di bidang energi, pendampingnya, Calon Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam konfrensi pers, menargetkan pembangunan pembangkit listrik dengan total kapasitas 20.000 Mega Watt untuk megatasi krisis listrik yang masih terjadi di beberapa daerah.
"Kita tidak lagi membangun 10.000 MW (program percepatan pembangunan pembangkit listrik tahap II) dalam tiga tahun, namun 20.000 MW," ujarnya.
Menurut Jusuf, saat dirinya menjadi Wakil Presiden periode 2004-2009, program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 10.000 MW telah berjalan. Namun, menurutnya, ketika dirinya lengser dari kursi Wakil Presiden, kinerja program percepatan itu melamban dan tidak mencapai target.
Pemilu Presiden 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang mendapat nomor urut satu dan Joko Widodo-Jusuf Kalla bernomor urut dua. (I029/A039)
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014