Kabul (ANTARA) - Di Afghanistan, anak-anak berusia 10 tahun putus sekolah untuk bekerja keras di pabrik batu bata demi menghidupi keluarga mereka.

Hal ini mungkin tak terbayangkan di banyak belahan dunia, tetapi ini hal yang lazim ditemukan di negara itu.

"Ada 12 orang dalam keluarga saya, tetapi kami tidak punya penghasilan. Saya bekerja di sini karena kami tidak punya apa-apa di rumah," kata Omari (10) kepada Xinhua.

Omari bekerja bersama keluarganya di sebuah tempat pembakaran batu bata di Distrik Deh Sabz, yang terletak di pinggiran Kabul, Afghanistan. Meskipun dia bermimpi untuk bersekolah, situasi ekonomi keluarganya yang memprihatinkan membuat pendidikan menjadi hal yang mustahil.

"Saya ingin belajar di dalam kelas, tetapi tidak bisa," ujar gadis kecil itu sambil bekerja bersama adik-adiknya.

Aziz, anak laki-laki berusia 12 tahun yang merupakan tetangga Omari, bekerja di tempat pembakaran yang sama.

"Saya bekerja di sini untuk menghidupi keluarga saya karena kemiskinan. Terkadang saya menghasilkan 200 Afghani (1 Afghani = Rp224) per hari, dan pada hari lain, saya menghasilkan 250 Afghani per hari," kata Aziz.

Sebagai pencari nafkah tunggal bagi keluarganya yang beranggotakan 12 orang, Aziz mengatakan bahwa dia tidak memiliki pilihan lain selain bekerja.

Perang dan konflik sipil selama puluhan tahun di Afghanistan telah menghancurkan banyak keluarga, membuat anak-anak seperti Aziz memikul tanggung jawab untuk bertahan hidup.

Masa kecil mereka direnggut oleh kewajiban untuk bekerja keras karena mereka mengambil peran sebagai orang dewasa sebelum waktunya.

Meskipun tidak ada data resmi mengenai jumlah pekerja anak di Afghanistan, ribuan anak terlihat bekerja di jalanan atau melakukan pekerjaan yang melelahkan dan menguras tenaga seperti membuat batu bata dan membersihkan jendela mobil di tengah kemacetan.

"Kami tidak punya penghasilan, tidak punya tempat tinggal. Saya tidak punya pilihan selain bekerja di pabrik batu bata dari pagi hingga petang. Anak-anak kami menderita, dan kami menghadapi kesulitan yang luar biasa," kata Nawrang (45), seorang pekerja di pabrik batu bata yang memiliki sembilan anak.

Nawrang menceritakan bagaimana kemiskinan ekstrem memaksanya meninggalkan rumahnya di Provinsi Nangarhar dan pergi ke pinggiran Kabul beberapa tahun yang lalu, dengan harapan dirinya bisa mendapatkan pekerjaan.

Dia menceritakan meskipun mendapatkan penghasilan hingga 7.000 Afghani per bulan namun tidak cukup untuk menghidupi satu keluarga.

Sejarah panjang perang dan berbagai sanksi yang melumpuhkan di Afghanistan membuat negara itu hancur, dengan kemiskinan ekstrem dan pengangguran membelenggu warganya.

Sebuah laporan dari Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis pada Juli tahun ini menyebutkan bahwa sekitar 23,7 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan pada 2024.

Kemiskinan mendorong jutaan warga Afghanistan, termasuk anak-anak, untuk meninggalkan rumah mereka, meninggalkan pendidikan, dan melakukan pekerjaan apa pun yang tersedia, termasuk di tempat pembakaran batu bata, dalam upaya putus asa mereka untuk menghidupi keluarga.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2024