Jakarta (ANTARA News) - Perdamaian di bumi Aceh merupakan sesuatu yang sangat mahal harganya karena itu amat layak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penanggung jawabnya diusulkan untuk mendapatkan Nobel Perdamaian."Mendamaikan konflik yang sudah puluhan tahun sejak masa kemerdekaan sehingga mampu bersepakat untuk duduk bersama merupakan suatu prestasi yang besar dan mahal harganya," kata Pakar Politik Prof Dr Maswadi Rauf di Jakarta, Rabu.Karena itu, ujar guru besar UI itu, tidak wajar kalau ada pihak yang menganggap usulan tersebut mengada-ada dan tidak perlu ditanggapi."Uskup Belo saja bisa mendapat nobel karena hal-hal yang kecil saja di Timor-Timur, sementara Aceh ini masalah besar," katanya. Diakuinya penganugerahan nobel perdamaian bersifat politis, seperti ketika panitia penyelenggara Nobel perdamaian memilih Uskup Bello dan Ramos Horta sebagai peraihnya. "Nobel perdamaian itu memang sangat politis, jangan disamakan dengan Nobel Fisika, Kimia atau Kedokteran, tetapi tak ada alasan juga untuk menolaknya karena alasan dari usulan itu cukup kuat," katanya. Sebelumnya mantan Ketua MPR Amien Rais mengatakan tak terkesan soal usulan hadiah Nobel Perdamaian bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Nobel itu sangat politis, Uskup Belo mendapat nobel di saat rakyat Indonesia merasa provinsi Timor-Timur diacak-acak, Presiden Mesir Anwar Sadat mendapat nobel padahal dia hanya Presiden yang lebih mementingkan AS daripada prajuritnya sendiri," katanya. Sebelumnya, Yudhoyono diusulkan juga oleh anggota senior Komite Hubungan Internasional Kongres Amerika Serikat, Robert Wexler sebagai peraih Nobel Perdamaian karena kemampuannya memecahkan kebuntuan penyelesaian konflik di Aceh dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka pada Agustus 2005. Dalam suratnya kepada Komite Nobel, Wexler juga menyebutkan bahwa Yudhoyono patut dihargai. Alasannya, meski harus menghadapi bencana dahsyat tsunami pada 26 Desember 2004 Yudhoyono mampu memantapkan politik, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan bagi Indonesia.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006