Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan mengatakan, baru sekitar 38 persen puskesmas dapat menangani masalah kejiwaan karena sejumlah tantangan, oleh karena itu pihaknya membuat pelatihan-pelatihan agar semakin banyak puskesmas yang dapat menangani masalah-masalah mental.

"Karena tadi tenaganya masih kurang. Mereka nggak pede (percaya diri) ngurusin gangguan jiwa. 'Udah lah, dirujuk aja ke rumah sakit jiwa,' padahal tidak semua itu butuh," kata Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes Imran Pambudi usai temu media mengenai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Psikolog: Perhatian Pemerintah pada kesehatan mental meningkat

Dia menjelaskan, tantangan lainnya adalah masalah obat-obatan, karena obat-obatan tersebut masuk dalam kategori psikotropika, sehingga peraturannya menjadi ketat.

"Nah ini juga menjadi teman-teman di puskesmas juga agak ragu-ragu nih gitu kan, karena laporannya segala macam harus ke polisi segala macam gitu," katanya.

Oleh karena itu, kata Imran, mereka berfokus pada upaya-upaya preventif dan promotif, seperti skrining, agar dapat menangani masalah-masalah mental sebelum akhirnya menjadi lebih parah atau menjadi gangguan.

"Jadi skriningnya kita perkuat dan diperbanyak dan diperkuat dan tindak lanjutnya harus jelas," dia menambahkan.

Baca juga: Dinkes ungkap penyebab utama gangguan jiwa di Batam

Selain itu, katanya, Kemenkes mengupayakan deinstituionalisasi, agar tidak semua orang yang mengalami gangguan jiwa dirawat di rumah sakit jiwa. Menurutnya, rumah sakit jiwa hanya untuk yang sangat kritis.

Namun demikian, katanya, yang di rumah sakit jiwa pun harus dikembalikan ke keluarganya suatu saat. Oleh karena itu, pihaknya perlu kerja sama dari pemerintah daerah serta dinas sosial dalam menangani hal itu.

Dia menilai, erlu upaya bersama dalam menjaga kesehatan mental, karena masalah kesehatan jiwa memengaruhi seluruh kelompok usia, terutama kelompok pekerja yang menjadi aset menuju Indonesia Emas 2045. Selain itu, perlu dukungan kebijakan kesehatan mental di tempat kerja.

Imran menyebutkan bahwa pada periode bonus demografi, yakni 2020-2035, 70 persen penduduk adalah usia produktif, yang akan menjadi kunci Indonesia Emas, karena berperan sebagai tulang punggung keluarga, aset negara dalam perekonomian, serta yang melahirkan generasi penerus bangsa.

Baca juga: Dekan Fisip UI sebut kesehatan jiwa perlu pendekatan holistik

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024