Semarang (ANTARA News) - Tak satu pun pasangan capres dan cawapres yang akan berlaga pada Pemilu Presiden 2014 berani memaparkan rencana pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk lima tahun ke depan.
Padahal isu ini amat penting untuk diketahui publik mengingat besarnya anggaran yang dipakai untuk menomboki selisih harga pasar dengan harga BBM bersubsidi.
Berkas visi dan misi yang diserahkan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla ke Komisi Pemilihan Umum tidak ada yang menyusun cetak biru penghapusan atau pengurangan subsidi harga BBM.
Menyangkut kebijakan energi, Prabowo-Hatta dengan nomor urut 1, antara lain, memaparkan bakal membangun pembangkit listrik panas Bumi dan air berkapasitas 10.000 MW. Sementara itu, Jokowi-Kalla, nomor urut 2, berjanji merevisi UU perminyakan serta gas Bumi selain memanfaatkan energi terbarukan.
Sejumlah kalangan menilai pentingnya calon presiden membahas manis pahitnya subsidi BBM secara terbuka dan lebih dini disampaikan oleh capres, agar masyarakat yang selama puluhan tahun dininabobokan oleh subsidi, lebih bijaksana memperlakukan BBM ini.
Jumlah subsidi BBM yang luar biasa besar, mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, sudah saatnya untuk dikendalikan secara proporsional, misalnya, memberikan subsidi harga BBM hanya kepada warga miskin dan usaha mikro.
"Subsidi yang diberikan berdasarkan jenis komoditas, seperti BBM, selalu rawan disalahgunakan. Seharusnya subsidi menyasar orang per orang, bukan jenis komoditas yang diberi subsidi," kata Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, beberapa waktu lalu.
Tekanan subsidi harga BBM sejak zaman Orde Baru hingga pemerintahan sekarang ini selalu menjadi isu sensitif. Pada awal-awal rezim Orde Baru berkuasa, 1970-an, Indonesia mendapat limpahan rezeki besar dari ladang minyak sehingga subsidi mungkin sebuah kewajaran.
Sebagian besar penerimaan negara hingga 1980-an disokong oleh pendapatan migas, bukan hasil dari penerimaan pajak, sehingga saat itu subsidi harga BBM pun dinilai masih masuk akal.
Selain itu, Indonesia yang kala itu masih jadi anggota OPEC, konsumsi BBM domestiknya masih di bawah produksi dalam negeri.
Bersamaan dengan melesatnya perekonomian Indonesia, perburuan ladang minyak baru di negeri ini malah tidak sehebat pertumbuhan konsumsi BBM. Akibatnya, sejak satu dasawarsa lalu negeri ini menjadi importir minyak. Jumlah kebutuhan BBM per hari saat ini sekitar 1,3 juta barel, sedangkan produksi sekitar 800.000 barel/hari sehingga kekurangannya harus diimpor.
Defisit BBM ini dikhawatirkan semakin membengkak pada tahun-tahun mendatang mengingat jumlah kendaraan bermotor bertambah banyak dan tidak ada upaya berarti untuk mengerem melesatnya konsumsi BBM.
Produksi sepeda motor per tahun dalam kisaran tujuh juta unit, sedangkan mobil 1,2 juta unit/tahun. Sepanjang pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas lima persen, berarti pasar otomotif di negeri ini masih tetap berkembang. Artinya, jalan raya semakin macet dan konsumsi BBM kian melesat.
Konsumsi BBM yang membengkak tanpa disertai dengan pengendalian yang berarti dipastikan bakal menggerogoti anggaran negara sehingga kian menekan kemampuan belanja produktif. Pada tahun ini saja diprediksi Rp300 triliun bakal habis "terbakar" untuk menutup selisih harga pasar dengan harga konsumen domestik. Kalau dibiarkan, subsidi BBM bisa membengkak lebih dari Rp300 triliun dari total belanja APBN 2014 sekitar Rp1.842,5 triliun.
Kebijakan meluncurkan mobil murah ramah lingkungan (LCGC) hampir dipastikan tidak akan mengerem konsumsi BBM bersubsidi karena tidak ada rekayasa teknis memadai untuk menutup akses mobil LCGC "menenggak" BBM bersubsidi.
Meskipun dari sisi mutu jauh lebih baik, harga BBM non-subsidi seperti Pertamax masih kelewat tinggi, dalam rentang Rp11.000-Rp12.000 per liter, sementara harga Premium hanya Rp6.500 dan solar subsidi Rp5.500/liter.
"Selisihnya memang kelewat banyak sehingga pemilik mobil bagus pun banyak yang menggunakan BBM bersubsidi," kata Agus, petugas pengisian BBM di SPBU Ketileng Semarang.
Melemah
Terus membengkaknya subsidi harga BBM ini tidak bisa dibiarkan karena bakal memangkas kemampuan negara dalam membiayai pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, keamanan, pertahanan, bayar pokok dan cicil utang, serta pembangunan lainnya.
Akhir Mei 2014, pemerintah mengumumkan akan memotong anggaran hingga Rp100 triliun sebagai dampak melemahnya pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan di bawah 5,2 persen dari asumsi sebelumnya Rp5,5-6 persen. Melemahnya perekonomian berimbas pada penerimaan pajak yang menjadi penopang utama penerimaan negara.
Pemangkasan pos pengeluaran APBN 2014, terutama untuk belanja pemerintah, memang tidak akan berefek besar dibandingkan jika memotong subsidi harga BBM meskipun nilai yang dihematnya hanya Rp50 triliun, misalnya.
Pemangkasan subsidi harga BBM yang berarti menaikkan harga BBM bisa dipastikan bakal memanen protes dan menimbulkan efek berantai (multiplier effects) di sektor-sektor lainnya. Kenaikan harga premium menjadi Rp6.500/liter dan solar Rp5.500/liter tahun lalu menjadi bukti bahwa diperlukan perhitungan cermat sekaligus mental baja untuk menanggung dampak kebijakan tidak populer tersebut.
Selain mendapat penolakan dari parlemen, kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013 juga menuai protes dari berbagai kalangan atas rencana kenaikan harga BBM, termasuk penolakan dari mitra koalisi PKS, kala itu.
Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil meyakinkan parlemen sehingga subsidi BBM bisa dikurangi dengan cara menaikkan harga. Pengambilan keputusan menyangkut isu supersensitif tersebut boleh dibilang berbuah manis karena tanpa disertai gejolak besar.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden 1999-2004, juga berani mengambil keputusan bersejarah, mengalihkan konsumsi minyak tanah yang boros subsidi dengan gas elpiji yang ramah lingkuan dan harganya lebih murah. Langkah Kalla ini ternyata manjur dan dirasakan manfaatnya hingga hari ini.
Contoh sukses sudah ada. Yang menjadi pertanyaan, mengapa sampai kini tidak ada satu pun pasangan capres-cawapres yang berani memaparkan cetak biru lima tahun ke depan menyangkut harga BBM bersubsidi? Padahal nilai subsidinya fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.
"Tidak mungkin Prabowo dan Jokowi memaparkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi jelang pilpres. Isunya kelewat sensitif," kata ekonom Prof FX Sugiyanto.
Akan tetapi, dosen senior FEB Undip tersebut yakin siapa pun yang akan terpilih menjadi orang nomor wahid di negeri ini bakal menaikkan harga BBM untuk menekan besaran subsidi.
Meskipun saat ini tidak disampaikan kepada publik, katanya, kedua pasangan tersebut memiliki peta jalan untuk mengikis beban subsidi harga BBM.
Ratusan triliun rupiah yang terbakar untuk subsidi harga BBM, menurut dia, terlalu mahal di tengah kebutuhan bangsa yang terus membesar untuk membangun infrastruktur.
Namun, dari sisi politik, menurut dia, Jokowi mungkin lebih mudah meyakinkan partai pengusungnya di DPR karena koalisinya lebih ramping. Kalla juga memiliki pengalaman mengelola kebijakan tidak populer yang berdampak luas, seperti konversi minyak tanah ke gas beberapa tahun lalu.
Menurt Sugiyanto, Jokowi bakal mampu meyakinkan konstituen PDIP yang pada tahun lalu menolak rencana kenaikan harga BBM yang diusulkan Pemerintahan SBY.
"Tentu tidak satu dua tahun ke depan.Mungkin tahun ketiga, presiden terpilih akan menyampaikan kenaikan harga BBM untuk menekan biaya subsidi," katanya.
Prabowo yang membawa gerbong koalisi lebih gemuk dan konstiuennya lebih heterogen dinilai butuh waktu lama untuk mencapai konsensus pengurangan subsidi.
Ia mengakui menaikkan harga BBM setelah tiga tahun berkuasa merupakan kebijakan tidak populer dan berpotensi mengurangi dukungan bila presiden tersebut maju kembali pada Pilpres 2019.
Akan tetapi, di tengah kebutuhan anggaran untuk menggenjot pembangunan infrastuktur, mengurangi subsidi harga BBM merupakan keniscayaan.
Jokowi atau Prabowo akan menghadapi pilihan tersebut bila salah seorang di antaranya terpilih.
(A030/Z003)
Oleh Achmad Zaenal M
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014