Jakarta (ANTARA News) - Garmen dan pakaian bekas terutama dari Cina dan Singapura menjadi pilihan masyarakat yang saat ini tengah mengalami penurunan daya beli, sehingga produk dan bisnis pertekstilan lokal di Pasar Regional Tanah Abang (PRTA) sepi pembeli hingga menjelang lebaran.
"Puasa dan menjelang lebaran tahun ini, kami justru rugi karena pembeli banyak beralih membeli pakaian bekas eks Singapura di sejumlah tempat di Jakarta," kata salah satu pedagang tekstil dan kain tradisional Blok E PRTA, Nivi Suzana, di Jakarta, Rabu.
Jika tahun lalu, ia bisa mendapat keuntungan Rp50 juta hingga Rp60 juta per bulan, kata Nivi, kini paling banyak Rp15 juta per bulan, belum dikurangi dengan biaya sewa tempat dan gaji karyawan.
Menurut dia, sepinya pembeli disebabkan banyaknya musibah dan bencana alam yang menimpa beberapa daerah di Indonesia sehingga daya beli masyarakat menurun drastis.
"Akhirnya banyak orang yang lebh tertarik untuk membeli pakaian bekas daripada memesan baju baru," katanya.
Hal itu terlihat dari omzet perdagangan pasar pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang mencapai miliaran rupiah per bulan. Menurut pedagang pakaian bekas di Senen, Arifin, omzet di pasar itu sekitar Rp 8 miliar per bulan.
Warga Tebet, Jakarta Selatan, Sunarti (42), mengaku, lebaran tahun ini memilih untuk membeli pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Menurut dia, asal pintar memilih maka tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan pakaian berkualitas dengan model unik yang murah harganya.
"Baju-baju di Tanah Abang modelnya juga cenderung pasaran. Apalagi menjelang lebaran seperti sekarang, harganya pasti sangat mahal," katanya.
Banyaknya konsumen yang beralih itu membuat bisnis penjual tekstil dan pakaian jadi di Blok A PRTA, Hardi, yang mengelola bisnis kain grosiran sejak 1996 terancam gulung tikar karena terus merugi dari bulan ke bulan.
Menurut dia, usahanya mendapat saingan berat produk impor yang kini mulai membanjiri pasar lokal dengan tawaran kualitas dan harga yang sangat bersaing.
Hal itu menyebabkan order (pesanan) konsumen ke sejumlah pedagang di PRTA mengalami penurunan drastis. Jika tahun sebelumnya Hardi menerima pesanan hingga 1.000 potong selama puasa, kini baru jam 12.00 siang saja sudah tutup toko karena tidak ada pembeli.
"Kadang sampai tiga hingga empat hari tidak ada satupun dagangan terjual," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006