Singapura (ANTARA News) - Ekonomi masyarakat di Jakarta bisa menghasilkan hingga 8,9 miliar dollar AS (sekitar Rp100 triliun) per tahun pada 2030 jika Pemerintah bisa mengatasi kemacetan dengan meningkatkan mobilitas masyarakatnya dan kualitas jaringan transportasinya, demikian menurut studi.

Senior Partner Credo, perusahaan konsultan yang berbasis di London, Chris Molloy di World Cities Summit 2014, Singapura, Selasa mengungkapkan bahwa hasil studi tentang mobilitas perkotaan, "The Mobility Opportunity", yang dilakukan oleh Credo pada tahun 2013.

Chris Molloy mengatakan bahwa investasi di sektor infrastruktur transportasi akan meningkatkan tingkat produktifitas dan kegiatan ekonomi penduduk suatu kota.

Berdasarkan studi yang disponsori oleh perusahaan raksasa Eropa Siemens tersebut, saat ini penduduk Jakarta menghabiskan 23,5 persen dari pendapatan per kapita mereka untuk biaya transportasi.

"Sementara, biaya ekonomi untuk transportasi yang paling efisien berada di sekitar angka sepuluh persen dari PDB per kapita," kata Molloy.

Dari 35 kota di dunia yang diteliti Credo, Kopenhagen di Denmark menjadi kota yang paling efisien dalam hal biaya transportasi dengan nilai 8,6 persen, disusul oleh Singapura (8,9 persen) dan Santiago, Chile (10,8 persen).

Sedangkan kota Lagos, Nigeria, berada di posisi paling buncit dengan angka 27,7 persen.

Jika seluruh 35 kota yang diteliti dapat menerapkan standar-standar transportasi terbaik di kelasnya, maka kota-kota tersebut akan mendapatkan keuntungan ekonomi hingga mencapai total 238 miliar dollar AS, hampir dua kali lipat potensi ekonomi saat ini yang mencapai nilai 119 miliar dollar AS.

Sementara itu, moda transportasi bus terintegrasi Transjakarta yang sudah beroperasi dari tahun 2004 dinilai hanya mampu menambah efektifitas dan efisiensi transportasi dalam jangka pendek, kata Molloy.

"Angkutan mini bus di sana juga tidak tertata dengan bagus," kata Molloy.

Dengan memperhitungkan sejumlah variable seperti biaya transportasi yang dikeluarkan dan perencanaan yang ada saat studi tersebut dilakukan, seperti penambahan armada untuk meningkatkan kapasitas penumpang, angkutan publik di Jakarta hanya dapat mengurangi biaya ekonomi untuk transportasi penduduk menjadi 22 persen pada 2030.

"Untuk Jakarta, moda transportasi berbasis rel (metro rail) adalah yang terbaik. Tak ada yang lebih baik dari itu untuk mengatasi tingkat kemacetan di sana," kata Molloy.

Pada 2030, Credo memprediksi akan terjadi penambahan jumlah komuter dari jumlah saat ini yang mencapai 1,5 juta menjadi 2,5 juta saat puncak arus komuter pada pagi hari pada 2030.

Hal tersebut menjadi tantangan bagi kota terpadat di Indonesia tersebut untuk menciptakan moda transportasi yang efisien, kata Molloy.

Sementara Singapura sudah lebih dari 25 tahun mengandalkan jaringan Mass Rapid Transit berbasis rel, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru meresmikan pembangunan konstruksi sarana transportasi massal MRT tahap I pada Oktober 2013 dengan rute Lebak Bulus-Hotel Indonesia sejauh 15,5km yang ditargetkan selesai pada 2018.

Tahap Dua MRT dengan rute Bunderan HI-Kampung Bandan direncanakan akan dibangun mulai akhir tahun 2014.

Sebelumnya Chairman Infrastructure Partnership and Knowledge Centre, Harun Al Rasyid Lubis mengatakan bahwa Biaya sosial yang terbuang akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan mencapai Rp68 triliun per tahun atau Rp186 miliar per harinya.

"Jumlah itu, mulai dari biaya bahan bakar, biaya kesehatan hingga polusi udara. Betapa borosnya kita hanya untuk kemacetan harus dikeluarkan sebesar itu," kata dia.


(A059/A029)

Pewarta: Aditya ES
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014