Jakarta (ANTARA) - Pelaku usaha di industri rokok elektronik menilai hadirnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang mengatur ketentuan kemasan polos tanpa merek dapat melemahkan industri rokok elektronik dalam negeri.

Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Budiyanto dalam keterangan di Jakarta, Selasa mengatakan semua lini di industri rokok elektronik akan sangat terdampak akibat RPMK.

Sebab, kebijakan itu berpotensi besar mendorong tumbuhnya peredaran rokok elektronik ilegal yang tidak berpita cukai di pasaran. Kelangsungan industri rokok elektronik kian tertekan dan pemerintah bakal kehilangan penerimaan cukai.

Industri rokok elektronik juga menyerap tenaga kerja langsung dan berkontribusi pada pendapatan industri terkait seperti industri kreatif yang juga akan terdampak dari aturan tersebut.

"Kita tidak sepakat dengan aturan ini, mengingat industri rokok elektronik bukan hanya sebagai solusi alternatif menurunkan risiko terhadap adiksi. Ada banyak faktor yang turut serta dalam industri rokok elektronik seperti industri kreatif, content creator, bahan baku, dan lainnya. Pengaturan kemasan yang terlalu ketat akan membatasi inovasi dalam industri kreatif," ujar Budiyanto.

Ia meminta agar pemerintah melihat kebijakan tersebut secara komprehensif, bukan hanya melihat dari sisi preventif. Pasalnya, industri rokok elektronik cukup memberikan kontribusi dalam membuka lapangan pekerjaan baru dan pemasukan bagi pemerintah.

Dengan misi besar pemerintahan baru untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 8 persen, industri rokok elektronik dapat berpartisipasi asal didukung regulasi yang melindungi kelangsungan usaha.

"Industri rokok elektronik memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan. Namun, regulasi yang ada saat ini justru mengancam pertumbuhan industri ini. Kami berharap pemerintah dapat bekerja sama untuk meninjau kembali regulasi ini, demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan," kata Budiyanto.

Pada kesempatan berbeda, praktisi hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hari Prasetiyo menjelaskan kehadiran RPMK seharusnya memperkuat aturan yang ada di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, bukan membuat pengaturan yang bertentangan dengan keduanya.

"Wacana kemasan polos tanpa merek berpotensi menimbulkan permasalahan baru seperti persaingan usaha, isu perlindungan konsumen, isu hak kekayaan intelektual (HKI), dan pengendalian tembakau tanpa ratifikasi," katanya.

Menurut Hari, aturan mengenai kemasan polos tanpa merek terkesan dipaksakan tanpa mempertimbangkan profil risiko. Selain itu, ujar dia, pemerintah hanya fokus kepada aturan kemasan polos saja, tanpa memberikan edukasi yang cukup kepada masyarakat.

"Harus ada usaha lebih untuk memastikan bahwa edukasi itu sudah cukup disampaikan kepada masyarakat," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya seluruh pemangku kepentingan ikut andil dalam perumusan aturan yang berdampak langsung bagi pelaku usaha. Tujuannya untuk menghindari kerugian pada salah satu pihak, padahal mereka sudah berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan cukai bagi negara.

Baca juga: Industri tembakau alternatif pertanyakan aturan kemasan polos
Baca juga: Anggota Baleg: Kemasan rokok polos rugikan industri hasil tembakau
Baca juga: Dirjen Bea dan Cukai nilai rokok polos berpotensi sulitkan pengawasan
Baca juga: Pengamat: Aturan kemasan rokok polos dorong peran industri kreatif

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024