Pendidikan seksualitas di Indonesia hingga saat ini masih terbatas pada aspek-aspek biologis dan belum banyak membahas aspek-aspek lainnya termasuk konsep persetujuan (consent) di dalam isu seksualitas

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Andhika Ajie Baskoro mengatakan pendidikan pendidikan seksualitas yang komprehensif perlu diberikan kepada kelompok usia remaja di Indonesia untuk mencegah perilaku seksual berisiko pada usia tersebut.

Andhika menyadari bahwa sebagian masyarakat masih menganggap pendidikan seksualitas sebagai sesuatu yang mendorong anak untuk melakukan hubungan seksual. Namun anggapan tersebut sebenarnya sudah dipatahkan oleh banyak studi yang menunjukkan fakta sebaliknya.

Baca juga: Peneliti ungkap pemanfaatan tanaman obat dalam masyarakat Bali kuno

“Sebenarnya pendidikan seksualitas memberikan pemahaman yang baik sehingga nantinya mereka akan dapat mengambil keputusan yang bertanggungjawab,” kata Andhika dalam webinar di Jakarta, Selasa.

Ia memandang, hingga saat ini pendidikan seksualitas di Indonesia memang masih belum komprehensif. Andhika bercerita, pada 2015 dirinya bersama tim membawa hasil studi terkait pendidikan seksualitas ke Mahkamah Agung (MA) yang diharapkan bisa menjadi formasilasi pendidikan seksualitas di sekolah.

Sayangnya, ujar Andhika, saat itu permohonan ditolak oleh MA karena dianggap terlalu vulgar dan sensitif. Materi-materi pendidikan seksualitas dianggap masih bisa disisipkan ke dalam mata pelajaran lainnya seperti biologi, penjaskes, sosiologi, dan seterusnya.

Ia menilai, pendidikan seksualitas di Indonesia hingga saat ini masih terbatas pada aspek-aspek biologis dan belum banyak membahas aspek-aspek lainnya termasuk konsep persetujuan (consent) di dalam isu seksualitas.

Andhika juga menggarisbawahi pentingnya pelibatan orang tua untuk melakukan pengawasan serta membuka keran diskusi yang aman dan bebas dari penghakiman terkait isu seksualitas.

Hal ini, imbuh dia, sejalan dengan banyaknya studi yang menunjukkan bahwa sebenarnya pihak anak menganggap orang tua sebagai sumber primer dalam pencarian informasi. Namun kenyataannya, banyak dari anak-anak yang tidak mendapatkan informasi seksualitas dari orang tua mereka dan justru mendapatkannya teman-teman sebaya dan internet.

Di sisi lain, Andhika menyadari bahwa masih terdapat tantangan pelibatan orang tua dalam penyampaian edukasi seksualitas yakni adanya ketidaksetaraan sumber informasi karena perbedaan kelas sosial dan latar belakang pendidikan.

Baca juga: Peneliti: Moralitas tokoh wayang tidak baik atau buruk secara mutlak

“Bagi orang tua di kelas tertentu dan dari latar belakang pendidikan tertentu, mungkin relatif mudah untuk mencari bahan-bahan atau informasi-informasi terkait seksualitas. Sementara orang tua dari kelas tertentu dan latar belakang pendidikan tertentu, itu menjadi sulit untuk mencari bahan tentang isu seksualitas dan kemudian juga menjadi sulit untuk menyampaikan ke anak,” kata Andhika.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, jumlah penduduk yang berusia remaja atau berusia 15-19 tahun mencapai 22 juta jiwa. Dengan banyaknya jumlah tersebut, Andhika mengingatkan pentingnya Indonesia untuk menginvestasikan masa depan pada kelompok usia remaja salah satunya melalui pendidikan seksualitas yang komprehensif.

“Proporsi remaja yang cukup tinggi di Indonesia sebenarnya menjadi modal yang sangat penting dan krusial untuk mewujudkan visi Indonesia Emas,” ujar dia.

Andhika juga mengingatkan bahwa fase remaja cukup unik karena dalam fase ini terjadi perubahan yang cukup drastis baik secara biologis, emosional, maupun sosial. Secara nature, remaja juga cenderung memiliki sifat yang impulsif, mencoba untuk mencari jati diri, dan memiliki keinginan mencoba hal-hal baru.

Penetrasi internet pada remaja juga tinggi. Andhika mengatakan, internet memang tidak serta merta meningkatkan risiko remaja untuk terlibat ke arah perilaku seksual berisiko tapi bergantung pada konten yang dikonsumsi. Namun sejumlah studi literatur, imbuh dia, menunjukkan bahwa keterpaparan terhadap konten pornografi menjadi salah satu faktor penentu yang berasosiasi pada peningkatan perilaku seksual berisiko.

Oleh sebab itu, dibutuhkan pendidikan seksualitas komprehensif bagi remaja. Andhika pun menegaskan, pendidikan seksualitas pada dasarnya merupakan upaya pembekalan kepada remaja sehingga mereka dapat mengambil informed decision atau mengambil keputusan yang didasarkan pada pengetahuan.

Baca juga: Peneliti BMRB: Ada ajaran pemimpin yang baik dalam wayang Kresna Duta

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024