pemanjaan sektor industri ternyata sudah gagal total mendewasakan industri non pertanian. Sementara itu, urusan pangan dan pertanian dianaktirikan"
Jakarta (ANTARA News) - Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA), dalam Manifesto Kedaulatan Pangan yang dihasilkan setelah Seminar Kedaulatan Pangan di Jakarta, Minggu. menyatakan Indonesia sudah saatnya berdaulat pangan.
"Selama ini, pemanjaan sektor industri ternyata sudah gagal total mendewasakan industri non pertanian. Sementara itu, urusan pangan dan pertanian dianaktirikan," kata pakar pangan dan pertanian Mochammad Maksum Machfoedz pada seminar itu di Jakarta, Minggu.
Untuk membangun bangsa yang berdaulat pangan, Maksum menilai Indonesia harus mengubah arah kiblat pembangunan nasional dari perekonomian berbasis impor ke perekonomian berbasis domestik.
"Sudah saatnya dilakukan rekonstruksi kebijakan ekonomi politik nasional melalui rekonstruksi struktural dalam hal kebijakan anggaran, moneter, fiskal, perdagangan dan kebijakan lainnya," katanya.
Maksum mengatakan pilihan ekonomis Indonesia seharusnya mulai terkonsentrasi pada sektor ekonomi berkeunggulan komparatif, terutama sektor ekonomi berbasis sumber daya alam setempat.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa memaparkan dampak ketahanan pangan pada negara berkembang termasuk Indonesia yang pada 1960-an menjadi eksportir pangan dan produk pertanian utama dunia.
"Tapi akhir tahun 1980-an terjadi pergeseran peran, awal 1990-an kita (negara berkembang) berubah menjadi importir netto," kata Andreas.
Sejak itu, 70 persen negara berkembang menjadi tergantung impor pangan sementara negara maju menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia.
"Negara-negara berkembang dirugikan sekitar 50 milyar dolar AS per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian," katanya.
Menurut Andreas, masalah utama sektor pertanian dan pangan Indonesia antara lain adalah inefisiensi input pertanian yakni kenaikan penggunaan pupuk sintetis yang terus naik sejak tahun 2000. Selain itu, Indonesia juga memiliki angka ketergantungan tinggi akan pestisida dan benih.
"Ketersediaan lahan kita juga sedikit hanya 326,2 kapita per meter persegi, sangat kecil jika dibanding Australia yang 26.264,3 kapita per meter persegi," kata dia.
Selain itu juga ada benturan sistem perdagangan pangan internasional dengan petani kecil, pembukaan kran impor, ketimpangan agraria, konversi dan kerusakan lahan pertanian serta masalah kelembagaan.
Seminar yang digelar bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila 1 Juni tersebut turut diantaranya dihadiri Ketua Umum Kagama Sri Sultan Hamengkubono ke X dan Rektor UGM Pratikno.
Pratikno mengatakan Manifesto Kedaulatan Pangan nanti akan diserahkan kepada pemerintahan baru usai Pemilu Presiden 9 Juli.
Manifesto Kedaulatan Pangan merupakan momentum bersatunya KAGAMA dengan petani untuk berjuang bersama-sama mewujudkan kadaulatan pangan Indonesia.
Beberapa tahun ke depan, kata Pratikno, UGM akan mengedepankan isu kedaulatan pangan karena nyatanya dalam 10 tahun terakhir Indonesia dibanjiri produk impor.
"Kedaulatan pangan bukan berarti menutup diri. Produk kita harus mampu bersaing dan dicintai rakyat Indonesia. Tanpa melanggar komitmen pada pasar bebas, kita masih bisa mengendalikan arus perdagangan global dan memberi kesempatan kepada produk dalam negeri," kata Pratikno.
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014