Surabaya (ANTARA) - Tanggal 4 Desember 2021 menjadi momen tidak akan dilupakan oleh Tari, rumahnya yang terletak di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, rusak akibat awan panas guguran (APG) Gunung Semeru.

Letusan gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl) itu menyebabkan 51 orang meninggal, 169 terluka, dan 22 lainnya hilang serta ada 45 orang mengalami luka bakar.

Tari ingat, saat itu dia dan warga lereng Semeru beraktivitas seperti biasa, hingga akhirnya saat sore hari suasana menjadi mencekam tatkala terjadi letusan. Dia segera keluar rumah, mengambil sepeda motor dan bergegas menjauh dari pusat letusan gunung.

APG yang bersumber dari puncak "abadi para dewa" itu menimbun rumah warga di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Material abu vulkanik berpadu dengan air hujan turut menerjang semuanya, tidak berbekas.

Pascabencana tersebut Tari dan keluarganya berpindah dari Dusun Kajar Kuning ke hunian tetap (huntap) yang disediakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro.

Tidak musah bagi Tari dan keluarganya berpindah dari rumah yang telah ditinggalinya puluhan tahun. Demi keselamatan keluarganya, Tari memantapkan hati menerima ajakan dari pemerintah untuk memulai hidup baru.

Pria 50 tahun itu semula bekerja sebagai penambang pasir sisa letusan Gunung Semeru, namun saat ini telah beralih profesi menjadi tukang sayur keliling. Dia memantapkan hati untuk menjalani profesi barunya itu.

"Berat memang, tapi ya harus diputuskan. Meski tinggal di huntap tidak sama seperti di Kajar Kuning, tapi setidaknya kami tenang dan merasa aman di sini," katanya, ketika berbincang dengan ANTARA di areal huntap.

Warga lain penghuni huntap, Arif, juga telah memantapkan hatinya untuk menempati rumah pemberian pemerintah berukuran 10x15 meter tersebut.

Sama seperti Tari, dia dulunya adalah penambang pasir di Semeru, namun saat ini harus bekerja serabutan demi menyambung hidup. Kendati demikian, dia tidak menyesali dan bersedih. Menurutnya semua yang terjadi telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, dia hanya bertugas untuk menjalaninya.

Arif mengaku senang dan berterima kasih atas perhatian pemerintah membangunkan hunian untuk warga terdampak letusan Semeru. Dia berterima kasih karena kebutuhan pokok warga, yakni listrik yang digratiskan untuk warga yang menempati huntap tersebut.

Untuk kembali ke pekerjaan lama, menambang pasir, lokasi saat ini berjarak sekitar 15 kilometer. Hanya saja, pekerjaan itu mengandung risiko besar karena sewaktu-waktu warga menghadapi letusan Gunung Semeru. Karena itu beberapa warga kini menjalani usaha baru yang bisa mereka kerjakan, termasuk ada yang berjualan sayur keliling.

Senada dengan itu, Sumiati juga telah memantapkan tinggal di huntap. Wanita paruh baya yang sehari-hari menjadi petani itu mengaku, awalnya tidak mudah pindah ke huntap yang telah disediakan pemerintah, disebabkan karena jarak huntap yang jauh dengan sawah miliknya.

Sumiati tetap pergi ke sawahnya untuk digarap dan menghasilkan komoditas pertanian, meski jaraknya jauh. Ia memahami bahwa pilihan yang disediakan oleh pemerintah saat adalah jalan terbaik untuk menjaga dan melindungi keselamatan warga yang selama ini menghuni kawasan lereng Semeru.

Lambat laun, Sumiati mulai terbiasa. Ia meyakini apa yang diambil darinya saat Gunung Semeru meletuas akan diganti berlipat ganda oleh Yang Maha Kuasa. Asa tersebut yang terus dijaga Sumiati hingga kini.

Hunian tetap (huntap) yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang (ANTARA/Willi Irawan)

Gotong royong

Satu setengah tahun setelah meletusnya Semeru, tepatnya pada 7 Juli 2023, Jembatan Mujur yang menghubungkan Desa Kloposawit dengan Desa Tumpeng, Kecamatan Candipuro ambruk akibat diterjang lahar dingin sisa abu Gunung Semeru.

Kepala Desa Kloposawit Marjoko, menceritakan waktu itu sedang hujan lebat, yang diikuti suara gemuruh dan terjadi banjir. Sampai susulan banjir ketiga, akhirnya menghancurkan fondasi jembatan itu dan ambruk.

Putusnya jembatan ini membuat aktivitas warga menjadi terganggu, karena lalu lintas kendaraan sudah tidak bisa menyeberang lagi. Akibatnya, mayoritas warga yang mata pencariannya sebagai petani dan buruh tani menjadi berkurang penghasilannya.

Akibat putusnya jembatan itu adalah pengangkutan hasil pertanian tidak bisa lancar, bahkan penjualannya juga terganggu. Untuk mengangkut hasil pertanian, warga harus memutar sekitar 15 km melalui jalur lain, sedangkan para buruh tani juga susah untuk menjangkau tempat kerja mereka yang ada di wilayah seberang.

Selain itu, juga menghambat pendidikan di sekolah. Ini karena perjalanan anak-anak dan pengajar menuju ke sekolah juga menjadi terganggu. Kendala ini terjadi beberapa hari, hingga akhirnya warga bergotong-royong membuat jembatan darurat dari bambu.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur segera memperbaiki jembatan tersebut dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp11 miliar.

Menggunakan konstruksi bailey atau rangka baja, jembatan ini memiliki panjang 39 meter dan lebar 5,1 meter dan umur jembatan ini perkirakan bisa mencapai 50 tahun.

Jembatan ini mampu menahan daya beban lalu lintas mencapai 40 ton. Kendati demikian untuk memaksimalkan daya guna jembatan dalam waktu lama, dibutuhkan pemeliharaan berkala.

Gubernur Jawa Timur, saat itu, Khofifah Indar Parawansa, saat meresmikan secara langsung Jembatan Mujur II tanggal 20 September 2023 kagum dengan semangat kebersamaan masyarakat, saat menghadapi bencana.

Sabar, ulet dan gotong royong, itulah yang membuat Pemprov Jatim bergerak cepat melakukan asesmen dan perbaikan, sehingga jembatan tersebut berhasil dibangun ulang dalam waktu dua bulan saja.

Plt Kabid Pencegahan dan kesiapsiagaan BPBD Jatim Dadang Iqwandy mengakui betapa pentingnya kolaborasi pentahelix dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten maupun kota, serta dunia usaha, masyakarat, akademik atau pakar, dan media juga membaur dalam strategi penanggulangan bencana Gunung Semeru. Hal itu juga telah ditunjukkan oleh semua pihak dalam menangani dampak letusan Semeru pada 2021 itu.

Gunung Semeru memang unik. Gunung itu terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Semeru secara administratif termasuk dalam wilayah dua kabupaten, yakni Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.

Gunung ini termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Semeru mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Posisi geografis Semeru terletak antara 8°06' LS dan 112°55' BT.

Karena keunikannya, dan mengantisipasi rutinitas letusan Gunung Semeru yang sudah tiga tahun terjadi di Bulan Desember, maka BPBD Jatim menggelar sosialisasi kesiapsiagaan dengan menghadirkan para kepala desa, camat dan relawan di sekitar wilayah kaki Gunung Para Dewa tersebut.

Selain untuk mengajak warga dan semua pemangku kepentingan peduli serta memiliki sikap antisipatif menghadapi bencana, upaya sosialisasi itu juga menunjukkan bahwa negara selalu hadir untuk melindungi warganya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024