Jakarta (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kembali menangani kasus dugaan kekerasan terhadap anak di sekolah. Kali ini korbannya adalah anak berkebutuhan khusus, SAH (14), yang berasal dari Bandung.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Susanto mengatakan pihaknya menerima laporan dugaan tindak kekerasan tersebut setelah orang tua melaporkan kasus tersebut ke Polres Metro Jakarta Timur pada 25 Maret 2014.
Setelah laporan ke kepolisian belum ditindaklanjuti, KPAI berinisiatif meminta keterangan kepada pihak sekolah untuk mengkonfirmasi laporan dugaan kekerasan itu.
Pada Rabu (28/5), beberapa orang dari sekolah berasrama untuk anak berkebutuhan khusus Santa Maria Imaculata hadir ke KPAI untuk memberikan keterangan. Namun, Susanto menyayangkan yang hadir memenuhi panggilan KPAI bukan kepala sekolah.
"Yang datang beberapa guru, salah satu pemilik sekolah dan orang tua murid lainnya. Kami berharap kepala sekolah yang datang karena yang bersangkutan dianggap mengerti proses mengajar di sekolah tersebut detik demi detik," kata Susanto.
Menurut Susanto, pihak sekolah membantah telah ada tindak kekerasan terhadap SAH. Trauma fisik pada tubuh SAH disebutkan karena kelainan kekebalan tubuh yang disebut Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP).
"Kebanyakan kasus ini akan muncul pada penderita yang kurang perhatian dari aspek medis," ujar Susanto.
Meski terdapat informasi dari sekolah terkait SAH yang mengalami ITP, Susanto mengatakan KPAI akan terus mengumpulkan informasi untuk menyimpulkan kasus pada SAH itu termasuk kekerasan atau bukan.
"Keluarga korban melaporkan kasus itu sebagai tindakan kekerasan. Memang terdapat versi yang berbeda antara sekolah dan keluarga," katanya.
Susanto mengatakan pihaknya akan terus mendalami kasus tersebut. Bila ada perkembangan baru, sangat mungkin akan ada beberapa pihak lagi yang akan dipanggil.
"Untuk pihak orang tua korban sejauh ini belum kami panggil karena informasinya belum dianggap perlu," katanya.
Tak Boleh Jenguk
Sementara itu, Tonny Heryanto (54) dan Idawati Gandasasmita (50), orang tua SAH, mengatakan dilarang menjenguk anaknya di sekolah itu selama tiga bulan.
"Itu sebenarnya sudah ada dalam peraturan sekolah. Anak dilarang dijenguk selama tiga bulan pertama. Tapi kami tidak diberitahu kalau anak kami sakit," kata Tonny Heryanto (54), ayah SAH saat ditemui di rumahnya di kawasan Kopo Permai, Bandung, Kamis.
Tonny mengatakan dia dan istrinya, Idawati Gandasasmita (50) hanya diberitahu bahwa anaknya mogok, tidak mau beraktivitas.
Untuk mengetahui keadaan anaknya, Tonny dan istrinya hanya bisa mendapat informasi dari pendiri sekolah itu. Untuk bertemu pun, Tonny dan istrinya dilarang datang ke sekolah.
"Alasannya supaya anak tidak bertemu orang tua lalu ingin pulang. Akhirnya kami hanya bisa bertemu di salah satu mal di Jakarta," kata Tonny.
Tonny mengatakan dirinya memasukkan SAH ke sekolah tersebut pada 19 November 2013. Awalnya dia hanya ingin berkonsultasi dan melihat situasi sekolah tersebut terlebih dulu.
"Namun kemudian kami disarankan langsung masuk saja meskipun tanpa persiapan. Padahal sebelumnya juga belum ada kesepakatan mengenai biaya sekolah. Mereka bilang itu gampang," kata Tonny.
Pada awal bersekolah di sekolah berasrama itu, Tonny sempat menerima kiriman foto-foto aktivitas SAH. Ada foto SAH sedang berkebun dan foto bersama teman-temannya. Hingga akhirnya mereka mendapat kabar SAH mogok dan tak mau beraktivitas pada 8 Februari 2014.
Pada 18 Februari, Tonny dan istrinya sempat bertemu dengan pendiri sekolah di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan. Pendiri sekolah justru mengatakan SAH adalah anak psikopat.
"Katanya itu dari profesornya dan dia tertantang untuk terus menangani anak kami. Karena itu kami masih dilarang menemui SAH. Padahal kami menawarkan supaya ibunya datang. Harapan kami SAH berhenti mogok kalau bertemu ibunya ," tuturnya.
Hingga akhirnya pada 21 Februari, Tonny kembali bertemu dengan pendiri sekolah di sebuah mal di Jakarta Timur. Mereka juga bertemu dengan salah satu psikolog yang menangani SAH. Kepada psikolog, mereka menyatakan ingin membawa pulang anaknya.
"Psikolog mengatakan boleh asal sekolah mengizinkan. Akhirnya malam sekitar pukul 20.00 WIB SAH kami jemput di sekolah," kata Tonny.
Pada saat itulah, Tonny dan istrinya melihat kondisi SAH sebenarnya. SAH tidak bisa berdiri, tubuhnya lemas, ada beberapa luka lebam di tubuhnya dan luka bakar di kedua telapak kakinya.
Setelah menginap semalam di salah satu hotel, Tonny kemudian membawa SAH pulang ke Bandung dan langsung melarikannya ke Rumah Sakit Immanuel.
Dicubit dan Dipukul
Sementara itu, SAH mengaku mendapat cubitan dan pukulan dari seseorang di sekolahnya.
"Beberapa kali. Dipukul pakai sodet kayu," kata SAH.
SAH mengatakan ada salah satu petinggi sekolah itu yang sering membawa sodet kayu di kantong bajunya. Karena itu, Tonny dan istrinya menduga tidak hanya anaknya yang mengalami kekerasan.
Selain dicubit dan dipukul, SAH juga mengaku sering diseret ke kamar mandi apabila buang air besar. Saat itu, kondisinya sudah lemas dan ditidurkan di atas matras.
"Jadi diseret matrasnya ke kamar mandi kemudian dia disiram," kata Tonny.
Karena itu, Tonny mengatakan saat dibawa pulang dari Jakarta ke Bandung, SAH sudah lemas tidak bisa berjalan dan di tubuhnya terdapat luka lebam. Bahkan di kedua telapak kakinya terdapat luka bakar yang sudah mengalami infeksi.
"Kata pihak sekolah, luka bakar di telapak kakinya karena pengobatan tradisional moxa. Dia terluka karena memberontak saat diobati. Kalau hanya tersenggol tidak mungkin lukanya sedalam itu," tuturnya.
Tonny mencontohkan luka bakar akibat tersundut rokok, tentu akan berbeda dengan luka akibat ditekan dengan rokok yang membara. Moxa adalah pengobatan tradisional menggunakan bara api yang hanya digunakan panasnya, tidak sampai tubuh terkena bara.
Terkait dengan konfirmasi pihak sekolah kepada KPAI bahwa SAH mengidap Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP), Tonny mengatakan tidak ada penyakit itu pada anaknya.
"Awalnya memang dokter menduga ITP. Tetapi setelah didiagnosis lebih lanjut, ternyata bukan ITP. Trombositnya juga sempat turun drastis hingga 8.000, tapi kata dokter lebam akibat penurunan trombosit tidak akan separah itu," katanya.
SAH Suka Bohong
Sementara itu, Rudy Yanuar, pemilik sekolah berasrama untuk anak berkebutuhan khusus Santa Maria Imaculata, mengatakan orang tua sendiri mengakui bahwa SAH suka memukul, berbohong dan berteriak-teriak.
"Itu ada dalam surat pernyataan yang dibuat orang tua sebelum memasukkan anaknya ke sekolah kami. Surat pernyataan itu merupakan salah satu bukti yang kami serahkan ke KPAI," kata Rudy Yanuar.
Rudy mengatakan pihaknya juga menyerahkan bukti-bukti bahwa SAH menderita ITP dari Rumah Sakit Immanuel Bandung. Karena itu, Rudy membantah lebam-lebam di tubuh SAH disebabkan oleh kekerasan fisik di sekolah melainkan karena penyakit tersebut.
"Jadi kalau terkena ITP, tubuhnya dipegang sedikit akan mudah biru-biru. Itu karena trombositnya turun," tuturnya.
Menurut Rudy, pihaknya juga telah menyerahkan rekaman pernyataan orang tua SAH tentang penyakit anaknya itu.
Mengenai kondisi SAH yang sudah drop sebelum dijemput orang tuanya, Rudy mengatakan pihaknya tidak membawa SAH ke rumah sakit karena menunggu hasil pemeriksaan darah.
"Kami sudah berlangganan dengan salah satu laboratorium klinik. Jadi sebelum membawa ke rumah sakit, kami pastikan dulu sakitnya apa melalui pemeriksaan darah karena dia juga tidak demam atau pilek," kata Rudy.
Namun, Rudy mengatakan pihaknya sudah memberikan beberapa pengobatan kepada SAH seperti akupunktur dan psikologi medis. Orang tua pun sudah diberitahu mengenai kondisi SAH, tetapi mereka menyatakan akan membawa sendiri anaknya ke rumah sakit.
Imaculata Umiyati, pendiri sekolah Santa Maria Imaculata, mengatakan kondisi SAH yang lemah dan tidak bisa berjalan baru terjadi tiga hari sebelum dibawa pulang orang tuanya.
"Mengenai luka bakar di kedua telapak kaki, itu karena pengobatan dengan moxa. Saat diobati dia menendang-nendang, makanya kakinya terkena bara moxa. Anak berkebutuhan khusus seperti itu memiliki tenaga yang besar," kata Ima.
Kasus ini sudah menunggu untuk diungkap oleh KPAI dan kepolisian. Kedua belah pihak tentu menunggu keadilan karena masing-masing merasa tidak bersalah.
Oleh Dewanto Samodro dan Anom Prihantoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014