Jakarta (ANTARA News) - Masih belum adanya pasar yang dianggap menguntungkan membuat industri yang memproduksi sel surya di Indonesia tidak terbentuk, kata Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Alihudin Sitompul.
"Mata rantai industri berkembang sangat dipengaruhi pasar. Kapan mereka mengolah bahan mentah ke barang jadi sangat bergantung pada pasar," kata Alihudin Sitompul di Jakarta, Jumat.
Kementerian ESDM, ia mengatakan mulai mendorong produsen panel surya untuk memproduksi sendiri sel surya. Salah satunya dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari PLTS Fotovoltaik.
Pembelian tenaga listrik dalam Permen 17 tersebut menggunakan harga patokan tertinggi sebesar 25 cent dolar AS per kWh. Namun jika Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menggunakan tingkat komponen dalam negeri sekurang-kurangnya 40 persen diberikan insentif dan ditetapkan dengan harga patokan tertinggi mencapai 30 cent dolar AS per kWh.
"Karena ini kepentingan kita juga di mana pemerintah harus menurunkan emisi karbon 26 persen di 2020. PLTS menjadi salah satu cara dengan menggunakan energi baru terbarukan," ujar dia.
Jika pasar telah terbuka, menurut dia, pihaknya akan terus mendorong agar pabrikan panel surya masuk ke level produksi sel surya yang sekarang masih mereka impor.
Presiden Direktur PT Jembo Energindo Henky Nugroho mengatakan dengan memproduksi sendiri sel surya sebenarnya akan menghemat biaya produksi panel surya hingga 20 persen.
Namun demikian, dengan masih sepinya pasar sel surya atau panel surya di tanah air maka pabrikasi di dalam negeri tentu belum menjanjikan.
"Di Indonesia konsumsi tenaga listrik dari surya baru hitungan mega watt, kalah dengan Thailand yang sudah giga watt. Masalah lain ya soal insentif yang membuat produk sel surya atau panel surya kalah bersaing dengan produk luar," ujar dia.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014