Jakarta (ANTARA) - Keamanan pangan (food security) menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia menyusul terjadinya gagal panen di 58 negara akibat pemanasan global.

Kondisi serupa juga dialami Indonesia yang mengalami El Nino (kekeringan) berkepanjangan 2023--2024 sehingga membutuhkan penanganan darurat dengan impor beras untuk mengamankan pangan nasional. BMKG ketika itu sudah mengingatkan fenomena El Nino terjadi pada Juni 2023 dan mencapai puncaknya pada Desember 2023.

Tentunya impor beras hanya bersifat sementara. Dengan adanya pemanasan global, sejumlah negara juga mengalami gagal panen yang juga butuh impor sebagai solusi. Berdasarkan pengalaman ini maka kebijakan untuk mendukung swasembada pangan menjadi sangat penting ke depannya.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menjelaskan akibat gagal panen tersebut Indonesia harus impor beras untuk menutup kekurangan kebutuhan beras di masyarakat. Kekurangan 4 juta ton artinya dibutuhkan impor 7 juta ton lagi agar kondisi pangan tetap aman.

Namun, kebijakan seperti itu tentunya akan berpengaruh terhadap ketahanan ekonomi sehingga perlu diambil terobosan lain untuk mengamankan kondisi pangan nasional.

Sebab, apabila melihat dari segi potensi pertanian, Indonesia sebenarnya mampu untuk kembali mencapai swasembada pangan, bahkan bisa mengalahkan negara-negara yang selama ini menjadi produsen besar di bidang pangan. Kunci untuk menghadapi El Nino itu adalah melalui irigasi.

Mengandalkan irigasi di tengah kemarau panjang tentu sangat sulit sehingga satu-satunya cara dengan mengambil langsung dari sungai menggunakan pompa.

Namun, untuk mengambil air secara langsung dari sungai menggunakan pompa melanggar peraturan dan perundangan. Terkait hal itu, Kementerian Pertanian pada akhirnya berkoordinasi dengan Kejaksaan dan Kepolisian demi mengatasi kondisi darurat menyelamatkan pangan nasional.

Krisis pangan, menurut Amran, bisa loncat ke krisis politik bahkan negara bisa bubar apabila dibiarkan tidak terkendali. Kunci menghadapi krisis pangan adalah ketersediaan air dan pupuk yang mencukupi.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman (kemeja putih) bersama dengan pengusaha yang tergabung di dalam Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI). ANTARA/ Ganet Dirgantoro


Cetak biru

Pemerintah saat ini sudah memiliki cetak biru untuk mewujudkan ketahanan pangan yang dapat direalisasikan dalam kurun waktu 3 tahun.

Dengan terealisasinya pembangunan waduk dan bendungan, diharapkan cetak sawah 3 juta hektare bisa menjadi kenyataan sehingga produksi sawah bisa mencapai 15 hingga 30 juta ton per tahun. Artinya tidak sekadar swasembada, tetapi juga surplus sehingga sisanya bisa diekspor ke berbagai negara.

Akan tetapi, sistem pertanian harus diubah dari semula tradisional menjadi modern. Apalagi dengan adanya teknologi panen menggunakan mesin. Kalau cara tradisional (dengan tangan) butuh waktu 20 hari, maka kini menggunakan mesin hanya butuh waktu 2 jam saja.

Tak hanya itu, untuk mewujudkan ketahanan pangan maka dibutuhkan lebih banyak petani muda (petani milenial). Saat ini banyak dari petani yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Mereka tentunya ingin menekuni bidang pertanian apabila imbal hasilnya cocok.

Terkait hal itu, perlu dibuatkan klaster pertanian modern. Seluruh alat pertanian modern disediakan agar keuntungan dari bertani modern itu bisa mencapai Rp10 hingga Rp30 juta per bulan. Tentu imbalan ini akan menarik bagi petani muda menekuni sektor tersebut.

Kemudian yang perlu disiapkan juga ke depan kebijakan hilirisasi pertanian. Dengan demikian, ekspor pertanian tidak lagi dalam bentuk bahan mentah, namun sudah menjadi barang jadi. Sebagai contoh, Singapura yang memproduksi cokelat dengan bahan baku mete dan kakao dari Indonesia. Nilainya akan lebih besar kalau Indonesia bisa mengekspor cokelat.

Contoh kebijakan hilirisasi yang terus digulirkan adalah komoditas sawit mentah yang akan diolah menjadi bahan bakar pengganti solar (fosil) di samping untuk keperluan minyak goreng atau crude palm oil (CPO).

Namun untuk mencapai hilirisasi di bidang pertanian membutuhkan kerja sama multisektor yakni dari petani, pengusaha, termasuk Pemerintah. Terkait kerja sama ini maka penting untuk menciptakan iklim yang bisa memberikan kepastian berusaha.


Kepastian hukum

Pengembangan pertanian modern membutuhkan kebijakan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Mengingat untuk memenuhi kebutuhan peralatan, pada tahap awal harus diimpor.
Potensi hasil pertanian di Indonesia sangat besar dibutuhkan inovasi dan kreativitas untuk meningkatkannya. ANTARA/ Ganet Dirgantoro

Pengusaha Hashim Djojohadikusumo saat memberikan arahan pada Rakernas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) menyebut pertanian modern bisa terwujud dengan kehadiran pengusaha, namun bagi pengusaha yang dibutuhkan adalah kepastian hukum.

Banyak dari pengusaha saat ini yang enggan untuk berkolaborasi dengan program Pemerintah karena khawatir tersandung persoalan hukum. Oleh karena itu, Pemerintah ke depan harus bisa memberikan jaminan kepastian berusaha. Bahkan iklim berusaha harus menjadi salah satu program yang menjadi prioritas.

Indonesia pernah swasembada beras pada tahun 1984, yang ketika itu sebagian di ekspor ke Vietnam dan Filipina serta uang hasil penjualan diserahkan kepada Bulog.

Hashim melihat gagasan Presiden terpilih Prabowo untuk penyediaan makanan bergizi gratis kepada anak-anak selain bisa mengatasi persoalan stunting atau kekurangan gizi pada anak, juga bisa mendorong swasembada pangan karena petani jadi memiliki kepastian ada yang membeli produknya.

Kesiapan pengusaha dalam ketahanan pangan juga dilontarkan Ketua PSMTI Wilianto Tanta. Dia membenarkan suku Tionghoa jumlahnya 5--6 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 80 persen merupakan pengusaha yang siap untuk mendukung program ketahanan pangan Pemerintah.

Bahkan paguyuban yang dipimpinnya sudah menyiapkan sejumlah agenda terkait dengan kolaborasi dengan Pemerintah untuk memperkuat sektor pertanian ke depan. Salah satu yang akan dilakukan adalah memberikan pelatihan bagi para petani muda.

Kegagalan panen akibat El Nino menjadi pengingat, baik masyarakat maupun pengambil kebijakan (Pemerintah) mengenai pentingnya melaksanakan program pertanian berkelanjutan. Program pertanian harus ramah dengan alam sehingga tidak menjadi penyumbang kerusakan alam, yang pada akhirnya malah merugikan bagi sektor pertanian itu ke depan.

Lagi-lagi hal tersebut hanya bisa terwujud tidak hanya dari peran sektor pertanian saja tetapi berbagai pihak harus terlibat termasuk dari pelaku usaha yang siap untuk menampung hasil panen petani.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024