Jenewa (ANTARA) - Warga Sudan terus menghadapi kesulitan yang parah untuk mendapatkan layanan kesehatan akibat kurangnya keamanan, banyaknya serangan, kekurangan obat-obatan dan perlengkapan medis, tenaga kesehatan, serta dana untuk menutupi biaya operasional fasilitas kesehatan.
"Dengan 70-80 persen rumah sakit di wilayah konflik tidak berfungsi, orang-orang meninggal karena tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan obat-obatan dasar yang penting," kata Margaret Harris, juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam konferensi pers PBB pada Jumat (28/9)
"Selain itu, menurut laporan Kementerian Kesehatan Negara Bagian Khartoum pada Juli 2024, hanya 25 persen rumah sakit dan 16 persen pusat layanan kesehatan primer yang berfungsi di negara bagian tersebut," tambahnya.
Sudan terjebak dalam konflik antara tentara dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) sejak April 2023, dengan sedikitnya 12.260 orang tewas dan lebih dari 33.000 terluka, menurut data PBB.
Harris menyebutkan layanan-layanan penting, termasuk perawatan kesehatan ibu dan anak, penanganan malnutrisi akut parah, serta pengobatan untuk pasien dengan kondisi kronis, telah dihentikan di banyak area pada saat layanan tersebut sangat dibutuhkan.
"Di seluruh Sudan, wanita meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan," ujar juru bicara PBB tersebut.
"Terhentinya imunisasi anak, pengawasan penyakit, dan pengendalian vektor, ditambah dengan masalah akses dan bencana alam, menciptakan kondisi yang mendukung penyebaran wabah penyakit," lanjutnya.
Pengungsian, ketidakamanan pangan, wabah penyakit, dan ketidakmampuan mengakses perawatan untuk kondisi kronis serta kebutuhan kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir juga terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas di kalangan penduduk Sudan.
Harris mengatakan banyak wilayah di negara tersebut yang masih sulit diakses oleh tenaga bantuan kemanusiaan.
Masalah keamanan, kendala birokrasi, dan tantangan logistik telah membatasi kemampuan WHO dan mitranya untuk memberikan bantuan langsung ke fasilitas kesehatan di wilayah Darfur, Khartoum, Al Jazirah, dan Kordofan.
"Eskalasi baru-baru ini di Sennar juga berdampak pada operasi kami di negara bagian tersebut, sementara blokade jalan menciptakan tantangan akses untuk negara bagian Nil Biru dan Nil Putih dengan pasokan medis yang dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa," jelas Harris.
Dengan datangnya musim hujan, penduduk, terutama mereka yang terlantar dan tinggal di tempat penampungan darurat atau tenda, semakin terancam oleh pengungsian lanjutan, penyakit menular, serta ancaman langsung dari hujan deras dan banjir.
Krisis kemanusiaan di Sudan terus memburuk, dengan hampir 6,8 juta orang telah meninggalkan rumah mereka, mencari perlindungan di bagian lain negara tersebut atau mengungsi ke negara tetangga.
Beberapa perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat gagal menghentikan kekerasan tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Dewan Keamanan PBB perpanjang sanksi untuk Sudan
Baca juga: Kolera di Sudan melampaui 15.000 kasus dengan 500 lebih kematian
Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024