Gaza (ANTARA) - Di Deir al-Balah, Gaza tengah, Musa Baraka mengamati kebunnya dengan perasaan pasrah bercampur putus asa. Lahan milik petani berusia 55 tahun itu, yang dulunya dipenuhi dengan lebih dari 100 pohon kurma yang tumbuh subur, kini menceritakan kisah tentang konsekuensi perang yang luas.

"Panen tahun lalu jauh lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas," kata Baraka, sembari membawa segenggam kurma merah. Tahun ini, dia hanya berhasil memanen separuh tanaman di kebunnya, dengan keluarga pengungsi mencari tempat perlindungan di kebun itu.

Konflik Israel-Hamas yang masih berlangsung, yang pecah pada 7 Oktober 2023, telah sangat membayangi sektor pertanian Gaza. Panen kurma, yang biasanya menjadi tumpuan ekonomi daerah kantong tersebut, sangat terpukul.
 
 Seorang petani Palestina memanen kurma dari pohon kurma di kota Deir al-Balah di Gaza tengah, pada 23 September 2024. (XINHUA/Marwan Dawood)  



Mohammed Shukri (30), yang mengandalkan pekerjaan musiman di kebun kurma, mencontohkan dampak yang ditimbulkan dari kemerosotan pertanian.

"Saya biasanya mendapatkan 30 hingga 40 dolar (1 dolar = Rp15.171) per hari selama musim panen," ujarnya.

"Tahun ini, mustahil menemukan pekerjaan."

Seiring dengan konflik yang terus berlanjut, masa depan industri kurma Gaza berada di ujung tanduk. Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel telah melampaui 41.000 orang, menurut otoritas kesehatan Gaza.

Serangan Israel dilakukan sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan sekitar 250 orang disandera.

Para petani menghadapi banyak tantangan. Operasi militer Israel telah memutus aliran listrik dan pasokan bahan bakar, sehingga melumpuhkan sistem irigasi yang sangat penting bagi budi daya kurma. Banyak petani, seperti Rami Nazmi (32), tidak dapat mengurus lahan mereka karena masalah keamanan.   

"Pada tahun-tahun sebelumnya, kami mengekspor kurma ke Tepi Barat dan negara-negara Arab," jelas Nazmi.

"Saat ini, itu tidak mungkin. Kami kehilangan sumber pendapatan yang sangat penting."

Pasar lokal hanya menawarkan sedikit pelipur lara. Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat konflik, permintaan kurma anjlok, bahkan selama musim panen biasanya.
 
 Seorang petani Palestina memanen kurma dari pohon kurma di kota Deir al-Balah di Gaza tengah, pada 23 September 2024. (XINHUA/Marwan Dawood)    


Menurut Kementerian Pertanian yang dikelola Hamas di Gaza, jalur tersebut memiliki sekitar 240.000 pohon kurma sebelum konflik, dengan 180.000 di antaranya berbuah. Kementerian Pertanian Palestina di Ramallah memperkirakan perang telah merugikan sektor pertanian Gaza sekitar 2 juta dolar AS per hari.

Panen kurma, yang oleh warga setempat dikenal sebagai "emas merah", biasanya berlangsung dari pertengahan September hingga pertengahan November. Ini bukan hanya penopang secara ekonomi, tetapi juga sebuah batu pijakan budaya, dengan para petani seperti Baraka yang masih menggunakan metode panen tradisional, yaitu memanjat pohon dengan tali yang kokoh.
 
   Seorang petani Palestina memanen kurma dari pohon kurma di kota Deir al-Balah di Gaza tengah, pada 23 September 2024. (XINHUA/Marwan Dawood)  


Bagi petani seperti Baraka, harapan akan perdamaian terkait erat dengan impian akan pemulihan pertanian. "Saya berdoa semoga perang ini segera berakhir," ungkapnya, sembari menatap hasil panennya yang menyusut. "Hanya dengan begitulah kami dapat mulai membangun kembali apa yang telah hilang." 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024