Provinsi-provinsi di Indonesia timur yang menghasilkan kelapa cukup banyak itu ternyata Maluku, NTT (Nusa Tenggara Timur), dan Maluku Utara.

Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Leonardo AA Teguh Sambodo mengungkapkan potensi dan tantangan hilirisasi kelapa di Indonesia timur.

“Provinsi-provinsi di Indonesia timur yang menghasilkan kelapa cukup banyak itu ternyata Maluku, NTT (Nusa Tenggara Timur), dan Maluku Utara. Ini adalah tiga provinsi yang sebenarnya potensi, tapi industrinya baru ada di Maluku Utara, kalau tidak salah. Di Maluku dan di NTT belum ada industri, sehingga mungkin provinsi-provinsi ini nanti ke depan akan menjadi bagian yang utama,” ujar Teguh Sambodo dalam Media Briefing Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045, di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, produksi tanaman perkebunan komoditas kelapa di Maluku sebesar 91,20 ribu ton, Maluku Utara 200,10 ribu ton, dan NTT 65,70 ribu ton.

Capaian produksi kelapa di tiga provinsi tersebut timpang dibandingkan berbagai provinsi penghasil utama kelapa yang sebagian besar berada di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan beberapa lainnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Misalnya Jawa Timur 233,70 ribu ton, Riau 406,90 ribu ton, Sulawesi Utara 269,50 ribu ton, dan Sulawesi Tengah 206,30 ribu ton.

Terkait permasalahan tersebut, upaya peningkatan produktivitas di KTI perlu dilakukan dengan membuka industri pengolahan kelapa. Hal ini mengingat 278 industri pengolahan kelapa (16 di antaranya terintegrasi) atau 83 persen dari total keseluruhan berada di Pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan sisanya di Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

Sebagian besar kelapa yang ditanam dengan pola budi daya tradisional di perkebunan rakyat menyebabkan tingkat produktivitas minim, karena benih berkualitas rendah, teknik budi daya masih sederhana (tak sesuai panduan dan tak berkelanjutan), pola tanam tak teratur, hingga tidak ada pemupukan maupun saluran/tata air mikro.

“Apa yang mau dimulai oleh industri nata de coco membuka fasilitas di Maluku Utara, ini merupakan satu langkah yang memang sebenarnya realistis. Hal-hal ini yang difasilitasi pemerintah nantinya, bagaimana industri terintegrasi ini juga bisa diajak perluasannya ke Indonesia Timur,” ujar dia pula.

Pemerintah juga telah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua Barat untuk pengembangan kelapa dalam dengan memanfaatkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) guna membuka perkebunan kelapa yang akan diolah menjadi minyak, santan, dan lain-lain.

“Memang prosesnya masih beberapa tahun karena sekarang juga baru memulai untuk persiapan pembangunan kebunnya, tapi ini merupakan satu momentum juga melihat potensi dan juga mungkin ketersediaan lahan yang masih cukup luas di Indonesia bagian timur dan melihat kelapa menjadi salah satu tanaman yang potensi untuk diolah,” ujar Teguh.

Tantangan selanjutnya berkaitan dengan ekspor kelapa ilegal yang sebagian besar terjadi di Indonesia timur, lalu harga logistik tinggi, dan ketersediaan sumber daya manusia yang minim.

Ke depan, pemerintah disebut akan memanfaatkan satelit untuk mengendalikan ekspor ilegal kelapa, pengolahan pascapanen kelapa menjadi produk jadi di KTI untuk menurunkan harga logistik, dan membangun industri pengolahan kelapa guna menyerap tenaga kerja.

“Hal-hal ini sudah direncanakan dan beberapa solusi nanti dituangkan dalam peta jalan. Harapannya, nanti kita sama-sama berkolaborasi melaksanakannya,” kata dia lagi.

Sebagai informasi tambahan, Bappenas disebut bakal meluncurkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 pada Senin (30/9).
Baca juga: Menperin: Perpres pengelolaan kelapa dan kakao percepat hilirisasi
Baca juga: Bappenas akan luncurkan peta jalan hilirisasi kelapa 2025-2045

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024