Pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batu bara melalui APBN diharapkan dapat mencakup PLTU milik PLN...,
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pemerintah perlu memperjelas tata kelola pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023.


Sebagai informasi, PMK No.103/2023 telah disahkan untuk menjadi aturan di mana pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan dalam rangka percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

Aturan ini memungkinkan pendanaan platform transisi energi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sumber sah lainnya, seperti kerja sama pendanaan internasional.

"Keberadaan PMK No. 103/2023 ini menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal dan mempercepat pencapaian target pembangunan energi terbarukan," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan penilaian Climate Policy Implementation Check 2024 yang dilakukan oleh IESR, PMK tersebut memberikan payung hukum untuk mendukung investasi pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara lewat Platform Transisi Energi yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Namun, IESR mendorong pelaksanaan PMK 103/2023 yang lebih efektif dengan memperjelas tata kelola, mengedepankan transparansi dalam penentuan keputusan dan alokasi pembiayaan APBN untuk dukungan pendanaan platform ini.

Fabby menuturkan, keberadaan PMK No. 103/2023 merupakan angin segar lantaran menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal dan mempercepat pencapaian target pembangunan energi terbarukan.

IESR memperkirakan investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar 30-40 miliar dolar AS per tahun atau berkisar total 1.380 miliar dolar AS hingga 2050.

Sementara itu, untuk selaras dengan pencapaian target kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius maka 2 - 3 GW kapasitas PLTU batu bara perlu berhenti operasinya secara bertahap tiap tahun hingga 2045.

Menurutnya, pendanaan dari sumber APBN ini diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial.

“Pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batu bara melalui APBN diharapkan dapat mencakup PLTU milik PLN. Pelaksanaan pensiun PLTU juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu, misalnya usia PLTU yang mencapai sedikitnya 20 tahun atau telah melewati usia ekonomisnya, penggunaan teknologi PLTU batu bara subcritical yang menghasilkan emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya berlebih (overcapacity),” tegas Fabby.

Menurut Fabby, pendanaan dari APBN akan menutup kesenjangan pendanaan pengakhiran operasi PLTU lebih awal milik PLN dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional karena sejumlah isu mengenai valuasi nilai PLTU tersebut.

Selain itu, Fabby menambahkan, pengakhiran operasi PLTU milik PLN akan mengalihkan dana kompensasi tersebut ke kas PLN untuk memperkuat permodalan PLN melakukan investasi yang lebih besar pada pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.

Dalam studi Climate Policy Implementation Check IESR, terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK No. 103/2023.

Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batu bara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.

Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi ini.

Ketiga , PT SMI sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar.

Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya (cost recovery).

Staf Program Transisi Berkeadilan, IESR, Muhammad Aulia Anis mengatakan, pada 2022, alokasi anggaran mitigasi iklim dari APBN untuk sektor energi dan transportasi mencapai Rp19,5 triliun atau sekitar 1,3 miliar dolar AS.

Jumlah itu menunjukkan pemerintah mulai berkomitmen untuk mendukung transisi energi.

Namun, investasi ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, sehingga membutuhkan lebih banyak sumber pendanaan publik dan swasta.

“Transisi energi di Indonesia membutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya mempercepat penggunaan energi terbarukan tetapi juga mengatasi berbagai kesenjangan dalam institusi, pengawasan, dan pendanaan,” ucap Aulia.

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024