Jakarta (ANTARA) - Kasus mobilisasi politik adalah lumrah dalam praktik politik bangsa ini. Di masa lalu, selama Orde Baru berlangsung, mobilisasi politik selalu dilakukan oleh penguasa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan kroninya agar dapat terus berkuasa. Misalnya mobilisasi itu dilakukan kepada para Pegawai Negeri Sipil maupun TNI Polri.

Selama reformasi, praktik mobilisasi itu tetap saja dilakukan oleh seluruh kontestan politik, terutama oleh mereka yang sedang berkuasa. Setiap ada kelompok atau organisasi yang memiliki massa untuk dikonversi menjadi suara, maka pastilah akan menjadi rebutan untuk dimobilisasi.

Dalam konteks organisasi keagamaan, pandangan kita akan terarah pada dua ormas keagamaan yang utama yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terkait mobilisasi politik ini.

Kedua ormas Islam itu memiliki sejarah panjang dalam mobilisasi politik yang strategis. Meskipun bukan partai politik, peran keduanya dalam politik Indonesia sangat signifikan.

Mari kita lihat peran strategis kedua organisasi tersebut dalam dunia pendidikan. Kontribusinya jelas sangat besar bagi negeri ini. Ratusan ribu pesantren milik NU serta sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di seantaro negeri ini adalah tanda bahwa mereka punya dedikasi dalam membangun negeri ini.

Keduanya adalah dua sayap Garuda Indonesia yang seharusnya dapat terbang secara bersama-sama mengikuti prinsip aeronautika pesawat modern. Pendidikan yang berjalan ratusan tahun itu jelas memberi arah pandu dalam melihat politik bangsa kita.

Maka, sudah saatnya kiranya, potensi besar warga NU dan Muhammadiyah tidak lagi hanya berguna sebagai bentuk mobilisasi politik, namun mesti bergerak naik kelas menjadi bentuk partisipasi politik yang lebih rasional dan beradab.

Menuju partisipasi politik

NU memiliki massa besar yang sangat potensial untuk dimobilisasi secara politik. Tokoh-tokohnya terdahulu juga ikut mendirikan dan menggagas secara aktif membangun bangsa. Mereka memiliki cara pandang yang positif dalam melihat bangsanya dan selalu mengambil posisi moderat dalam pergaulan sosial.

Dalam catatan Indonesia Development Research (IDR), ada beberapa hal yang membuat NU menjadi ormas potensial untuk digandeng dan memiliki modal utama untuk pembangunan nasional.

Ormas Islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini terbukti mampu mengusung nilai-nilai Islam yang moderat, mengedepankan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Modalitas ini dapat dikelola secara baik jika dibarengi dengan pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Jaringan pesantren yang luas membuktikan bahwa peran organisasi dalam mendidik warganya memiliki fungsi strategis. Hanya saja, jaringan pesantren yang tumbuh dalam tradisionalitas itu perlu terus didorong menjadi lebih rasional. Sebab saya meyakini bahwa kemajuan itu tidak hanya tumbuh di atas modernitas, namun juga dapat lebih kokoh jika tumbuh di atas bangunan tradisionalitas.

Jika ini berhasil, maka NU akan menjadi kekuatan raksasa, yang massanya tidak hanya dimobilisasi, namun akan bergerak positif menjadi bentuk partisipasi pada pembangunan bangsa dan negara.

Namun demikian dibutuhkan garis dan komando yang tegas dalam setiap level kepemimpinan, agar warga NU dapat meningkatkan peran partisipasi yang lebih positif bagi bangsa dan tidak hanya dimanfaatkan ketika pemilu, namun ditinggalkan begitu saja setelah pemilu usai.

NU terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan, seperti kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. Namun demikian, untuk mencapai posisi partisipasi yang lebih berkualitas, organisasi harus lebih progresif dalam mendorong lembaga pendidikan tinggi yang telah dirintis secara baik di masa kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid dan selanjutnya dikonkritkan oleh K.H. Said Agil Siradj, yakni pendirian Universitas Nadhlatul Ulama (UNU).

Dalam hemat saya, penting kiranya, UNU mengembangkan riset-riset pembangunan sektor pertanian modern agar warganya yang bermukim di pedesaan dalam lebih hidup sejahtera. Potensi ini sejatinya akan sangat selaras dengan gagasan utama pembangunan Presiden Prabowo Subianto yang akan memperkuat sektor pangan nasional.

Untuk mengubah kondisi NU menjadi lebih baik, beberapa langkah bisa diambil antara lain melalui penguatan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang lebih berpengetahuan; pengembangan kader muda agar lebih siap memimpin dan berkontribusi dalam masyarakat dan organisasi; peningkatan partisipasi dalam politik dan sosial, termasuk dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal dan nasional; membangun program-program sosial yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, seperti pemberdayaan ekonomi dan Kesehatan; dialog antaragama untuk mempromosikan toleransi dan kerukunan; serta terlibat dalam advokasi untuk kebijakan publik yang mendukung nilai-nilai NU dan kepentingan masyarakat.

Hal lain yang penting dilakukan untuk mengubah arah dari mobilisasi ke partisipasi aktif dalam politik, perlu dilakukan beberapa strategi diantaranya dengan meningkatkan edukasi politik dan mendorong kader untuk berperan dalam politik dengan memberikan pelatihan kepemimpinan dan manajemen.

Secara berkelanjutan, NU perlu melakukan kampanye kesadaran yang menekankan pentingnya suara dan partisipasi dalam pemilihan umum serta pengambilan keputusan politik.

Untuk membangun hal tersebut, NU harus secara intensif membangun kerja sama dengan partai politik. Misalnya dengan membentuk aliansi dengan partai politik yang sejalan dengan nilai-nilai organisasi untuk memberikan ruang bagi anggota berpartisipasi.

Manakala pokok-pokok program tersebut sudah dijalankan, maka harus dilakukan monitoring dan evaluasi. Langkah tersebut penting dilakukan untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja anggota yang terlibat dalam politik guna memastikan mereka tetap sesuai dengan prinsip NU.


*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)

Copyright © ANTARA 2024