"Saya kira yang paling realistis adalah dari segi volume atau pengendalian, tapi nanti kita lihat semua kemungkinannya," katanya di Jakarta, Senin.
Chatib masih menunggu kebijakan dari Kementerian ESDM terkait opsi pengendalian tersebut, karena pilihan untuk menaikkan harga BBM bukan merupakan opsi utama menjelang pemilu presiden dan implikasi politisnya besar.
"Semua opsi itu kita buka, tapi kalau mau melakukan penyesuaian harga, butuh kompensasi, dan kalau mau memberi kompensasi nanti pada ribut money politics," ujarnya.
Ia mengatakan belum adanya kejelasan terkait kebijakan BBM bersubsidi dan tingginya belanja subsidi, membuat pemerintah harus memotong belanja di 86 Kementerian Lembaga hingga mencapai kurang lebih Rp100 triliun.
"Kita tahu persoalan yang kita hadapi karena bulan depan ada pemilihan presiden, maka opsi yang dilakukan adalah pemotongan anggaran," kata Chatib.
Pemerintah dalam RAPBN-Perubahan 2014 telah menetapkan pagu belanja subsidi BBM sebesar Rp285 triliun atau naik Rp74,3 triliun dari pagu yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp210,7 triliun.
Salah satu penyebab belanja subsidi BBM mengalami peningkatan cukup tinggi, adalah nilai tukar kurs yang mengalami pelemahan dari Rp10.500 per dolar AS pada APBN, menjadi Rp11.700 per dolar AS pada RAPBN-Perubahan 2014.
Hal tersebut menyebabkan belanja negara secara keseluruhan dalam RAPBN-Perubahan 2014 sedikit mengalami kenaikan, yaitu Rp1.849,4 triliun atau naik Rp6,9 triliun dari angka APBN Rp1.842,5 triliun.
Selain dari belanja subsidi BBM, tekanan terhadap belanja negara juga berasal dari kewajiban atas kegiatan tahun 2013 yang harus dibayar pada 2014 seperti subsidi listrik, dana bagi hasil dan kewajiban lainnya.
Upaya pengendalian belanja subsidi energi harus dilakukan pemerintah, karena defisit anggaran pada RAPBN-Perubahan ditetapkan 2,5 persen terhadap PDB, atau mendekati ambang batas maksimum sebesar 3,0 persen terhadap PDB.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014