KPH sebagai leading sector pengelola di tingkat tapak harus mampu menciptakan mekanisme sinergisitas, koordinasi, kolaborasi, dan integritas
Kabupaten Semarang (ANTARA) - Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr. Drasospolino menilai bahwa keberlangsungan pengelolaan hutan bertumpu pada tingkat unit manajemen terkecil, yakni kesatuan pengelolaan hutan (KPH).

"KPH sebagai leading sector pengelola di tingkat tapak harus mampu menciptakan mekanisme sinergisitas, koordinasi, kolaborasi, dan integritas program dan atau kegiatan antarpihak dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan," katanya di Ungaran, Kabupaten Semarang, Kamis.

Hal tersebut disampaikannya di sela peluncuran dua buku yang menandai purnatugas Drasospolino, yakni "Drasospolino; Legacy and Inspirasi" dan "Masyarakat Berdaya Dari Hutan Istimewa".

Buku "Drasospolino; Legacy and Inspirasi setebal 133 halaman menceritakan tentang perjalanan karier sosok kelahiran Yogyakarta, 7 September 1964 dalam menapaki karier malang melintang di dunia kehutanan dan lingkungan hidup.

Sedangkan buku berjudul "Masyarakat Berdaya Dari Hutan Istimewa" merupakan tulisan Drasospolino yang bersumber dari tesis doktoralnya di Universitas Brawijaya Malang.

Dalam buku tersebut, mantan Kepala Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Utara itu menyoroti tentang peran sentral KPH sebagai kepanjangan tangan negara dalam memakmurkan masyarakat sekitar kawasan hutan.

Baca juga: KLHK sebut perencanaan sub nasional FOLU Net Sink harus sampai ke KPH

Menurut dia, KPH Produksi (KPHP) Yogyakarta dijadikan kajian dan contoh karena merupakan satu-satunya KPH di Pulau Jawa yang memiliki sejarah pengelolaan yang cukup panjang.

"Pola kepemimpinan Sultan memegang peranan sangat kuat memberikan contoh kepada semua pihak di bawah, ini kan bukan semata pola struktural, tetapi pola tradisional ke bawah yang memang diikuti masyarakatnya," katanya.

Di buku setebal 234 halaman itu, ia mencontohkan pemanfaatan hutan di KPHP Yogyakarta, yakni pemanfaatan kawasan melalui Penanaman Lahan Di bawah Tegakan (PLDT), salah satunya tumpang sari dengan memberikan ruang bagi masyarakat sekitar untuk bercocok tanam di kawasan hutan milik negara.

"Jenis tanaman tumpangsari yang diminati masyarakat adalah palawija, antara lain jagung ketela, kacang tanah, dan kedelai. Di hutan jati, (tumpangsari, red.) hanya dapat dilakukan selama kurang lebih dua tahun, namun di tegakan kayu putih dapat dilakukan sepanjang musim," katanya.

Di KPHP Yogyakarta, kegiatan PLDT telah memberikan kontribusi tambahan penghasilan bagi masyarakat senilai Rp30 miliar dengan kisaran nilai produksi Rp6 juta per hektare dan penyerapan tenaga kerja 9.000 orang.

Pemanfaatan jasa lingkungan juga dilakukan KPHP Yogyakarta, kata dia, melalui pengembangan wisata di Resor Polisi Hutan (RPH) Mangunan sejak 2014 yang dilatarbelakangi banyaknya tegakan pinus tua dan produktif, tetapi berada pada dataran tinggi yang memiliki panorama indah dan menarik.

Sementara itu, Kasubdit Rencana Kerja Usaha Direkturorat Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (PUPH) KLHK Dr. Rahmat Budiono membenarkan bahwa peran KPH bagi masyarakat sangat penting.

"Hadirnya KPH memperkuat harmonisasi pelaku usaha dengan masyarakat, maka buku ini mengangkat bagaimana peran KPH yang dituangkan dalam UU bisa diimplementasikan dalam pemberdayaan masyarakat," katanya.

"Justru ini ruang kebijakan yang dihasilkan negara. Bagaimana hadirnya negara di tingkat tapak maka dibentuklah KPH di seluruh Indonesia, ada sekitar 360 KPH, salah satunya di Yogyakarta yang disebut di buku ini," tambah Rahmat yang juga editor buku tersebut.

Baca juga: Presiden Jokowi bagikan bantuan pangan ke 1.186 KPH
Baca juga: KPH: Masyarakat Loksado manfaatkan kayu manis sebagai sumber ekonomi

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024