Jakarta (ANTARA) - Pakar energi terbarukan dari Universitas Indonesia Eko Adhi Setiawan menyoroti sejumlah tantangan yang perlu diatasi sebelum skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik dapat diterapkan di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi daring yang digelar IESR di Jakarta, Rabu, Eko mengatakan skema power wheeling, yang memungkinkan produsen listrik swasta (IPP) menjual listrik langsung ke konsumen, menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kompetisi dan mendorong penggunaan energi terbarukan. Namun, implementasinya dihadapkan pada sejumlah kendala kompleks.

Tantangan pertama adalah kerumitan perhitungan tarif. Eko mengatakan penentuan tarif yang adil untuk power wheeling harus melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian ESDM, PLN, dan IPP. Proses ini dinilai sangat kompleks dan memerlukan regulasi yang jelas dan terperinci.

Kedua, renegosiasi kontrak. Menurut Eko, perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA) yang sudah ada antara PLN dan IPP umumnya sulit untuk diubah. Proses renegosiasi berpotensi menimbulkan konflik dan perselisihan.

Permasalahan makin kompleks karena skema power wheeling disebutnya dapat mengurangi pendapatan PLN karena IPP dapat menjual listrik langsung ke konsumen.

“Ini juga sulit bagi PLN karena mereka sudah ada kontrak PPA dalam jangka panjang. PLN harus mendapat bantuan dari pemerintah. ESDM harus turun tangan untuk mengatasi hal ini,” kata Eko yang juga merupakan Associate Profesor Universitas Indonesia itu.

Ketiga, kebutuhan modernisasi jaringan. Eko menjelaskan untuk mendukung power wheeling, PLN perlu melakukan modernisasi jaringan listrik secara signifikan, termasuk penerapan smart grid.

Investasi yang besar dan pengembangan teknologi baru, menurutnya, sangat diperlukan untuk mengelola energi terbarukan yang bersifat intermiten atau tidak stabil karena sangat bergantung pada cuaca.

Keempat, ekspansi jaringan transmisi dan distribusi. Eko menuturkan bahwa perluasan jaringan transmisi dan distribusi, terutama di daerah terpencil, akan membutuhkan investasi besar yang harus ditanggung oleh PLN dan pemerintah.

Tantangan kelima adalah kompleksitas regulasi dan mekanisme transaksi. Pemerintah, kata dia, perlu menyusun regulasi baru yang mengatur tarif, audit, dan mekanisme perdagangan yang adil dan efektif. Perubahan besar dalam kebijakan energi juga diperlukan untuk mendukung transaksi listrik di luar monopoli PLN.

Eko lebih lanjut mengatakan bahwa ada resistensi dari PLN dalam penerapan skema power wheeling. Ia memahami apabila PLN melihat skema ini sebagai ancaman terhadap model bisnis mereka yang saat ini mendominasi jaringan transmisi dan distribusi.

“Dan itu wajar karena mereka (PLN) sudah memiliki kontrak PPA dalam jangka panjang,” pungkasnya.

Pemanfaatan bersama jaringan listrik atau power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak pemilik pembangkit listrik untuk menyalurkan listrik ke konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi yang sudah ada dan dimiliki pihak lain.

Dalam konteks pasar ketenagalistrikan Indonesia, PLN sebagai pemilik jaringan listrik merupakan pemangku kepentingan utama dalam penerapan mekanisme ini, selain dari konsumen dan pemilik pembangkit listrik.

Konsep power wheeling menjadi salah satu poin penting yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) di DPR RI. Namun, hingga saat ini, RUU tersebut belum disahkan karena belum tercapainya kesepakatan mengenai mekanisme pelaksanaan power wheeling.

Baca juga: PLN ungkap kompleksitas penerapan skema "power wheeling"
Baca juga: Indef: Masuk RUU EBET power wheeling bebani APBN
Baca juga: Skema "power wheeling" dinilai berpotensi timbulkan dampak negatif

 

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024