Jika transaksi power wheeling cukup besar maka pengaturan aliran daya, tegangan, dan keandalan sistem perlu menjadi perhatian untuk menghindari penurunan kualitas layanan pada pelanggan,

Jakarta (ANTARA) - PT PLN (Persero) membeberkan sejumlah tantangan kompleks yang dihadapi dalam menerapkan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik di Indonesia.


Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN, Warsono, dalam sebuah diskusi yang digelar IESR di Jakarta, Rabu, mengatakan, terdapat setidaknya empat aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan power wheeling: mekanisme pasar, aspek teknis, dampak finansial, dan kerangka hukum.

Dari sisi mekanisme pasar, dia menyebutkan bahwa sistem kelistrikan Indonesia saat ini mengadopsi konsep wilayah usaha, di mana konsumen hanya dapat bertransaksi dengan perusahaan listrik yang mengelola wilayah tersebut.

Power wheeling idealnya membutuhkan adanya market operator dan sistem operator yang independen agar bisa menjadi pengelola transaksi dan operasi dengan banyak pelaku dengan terbuka dan adil, terutama jika terjadi perselisihan antar pelaku.

“Sedangkan di Indonesia belum ada sistem operator dan market operator yang independen,” kata dia.

Selain itu, penggunaan energi terbarukan yang bersifat intermiten atau tidak stabil, seperti tenaga surya, menghadirkan tantangan dalam menjaga stabilitas jaringan.

Ini membuat pelanggan harus memiliki dua pemasok listrik, yaitu pembangkit EBT pada siang hari dan PLN pada malam ini.

Sistem pembayaran untuk model bisnis ini dinilai sangat kompleks dan menjadi tantangan tersendiri.

Dari sisi teknis, penerapan power wheeling menuntut pemantauan terus-menerus terhadap aliran listrik dan permintaan untuk memastikan keseimbangan sistem.

“Jika transaksi power wheeling cukup besar maka pengaturan aliran daya, tegangan, dan keandalan sistem perlu menjadi perhatian untuk menghindari penurunan kualitas layanan pada pelanggan,” ucap Warsono.

Power wheeling juga berpotensi menimbulkan dampak finansial. Salah satunya, penurunan jumlah pelanggan PLN yang dapat berakibat terhadap tingkat pemanfaatan pembangkit yang rendah.

Ia mengatakan, rendahnya tingkat pemanfaatan pembangkit listrik mengakibatkan beban pembayaran take or pay (TOP) yang signifikan bagi PLN, tanpa adanya peningkatan pendapatan (revenue) yang sebanding.

Kondisi ini, lanjut dia, berdampak pada kerugian keuangan PLN dan berujung pada peningkatan beban subsidi serta kompensasi yang ditanggung pemerintah.

Ia menyebut setiap satu gigawatt kapasitas pembangkit yang tidak termanfaatkan dapat menimbulkan beban finansial sekitar Rp3 triliun per tahun.

Sementara dari aspek kerangka hukum, Warsono menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengatur bahwa satu perusahaan listrik hanya boleh melayani satu wilayah usaha.

Meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2015 mengizinkan penggunaan bersama jaringan transmisi, tetapi itu terbatas untuk melayani konsumen dalam wilayah yang sama.

Pemanfaatan bersama jaringan listrik atau power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak pemilik pembangkit listrik untuk menyalurkan listrik ke konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi yang sudah ada dan dimiliki pihak lain.

Dalam konteks pasar ketenagalistrikan Indonesia, PLN sebagai pemilik jaringan listrik merupakan pemangku kepentingan utama dalam penerapan mekanisme ini, selain dari konsumen dan pemilik pembangkit listrik.

Konsep power wheeling menjadi salah satu poin penting yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) di DPR RI.

Namun, hingga saat ini, RUU tersebut belum disahkan karena belum tercapainya kesepakatan mengenai mekanisme pelaksanaan power wheeling.

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024