Tidak sedikit bukti dari berbagai negara soal adanya potensi fraud yang ini harus jadi perhatian banyak pihak

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan, perlu langkah preventif serta sanksi tegas guna menangani fraud (tindakan penipuan atau kecurangan) di sektor kesehatan apabila terjadi kembali, karena hal itu terbukti berisiko menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, Edy merujuk pada pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebutkan bahwa kerugian karena fraud di bidang kesehatan adalah 10 persen dari pengeluaran untuk kesehatan, dan kerugian ini diperkirakan sekitar Rp20 triliun.

Dia menjelaskan, adapun di Indonesia, KPK mengungkapkan temuan fraud senilai Rp35 miliar dari klaim JKN pada tiga rumah sakit.

Edy menyatakan, pernyataan Wakil Ketua KPK tersebut memang mengacu pada fraud di Amerika Serikat. Dengan adanya data ini, dia menyarankan agar menjadi perhatian, agar tidak terjadi di Indonesia.

“Tidak sedikit bukti dari berbagai negara soal adanya potensi fraud yang ini harus jadi perhatian banyak pihak,” kata Edy.

Menurutnya, risiko kerugian akibat fraud di dunia adalah sebesar 7,29 persen dari dana kesehatan yang dikelola tiap tahunnya.

Dia mencontohkan, data dari Biro Investigasi Federal (FBI) menunjukkan bahwa risiko kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat fraud layanan kesehatan adalah sebesar 3 sampai 10 persen dari dana yang dikelola. Adapun data lain yang bersumber dari penelitian University of Portsmouth menunjukkan bahwa potensi fraud di Inggris adalah sebesar 3 sampai 8 persen dari dana yang dikelola.

Selain itu juga fraud juga menimbulkan kerugian sebesar USD 0,5 sampai 1 juta di Afrika Selatan berdasar data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan Qhubeka Forensic Services yang diterbitkan oleh WHO pada 2011.

Dia menuturkan, Indonesia sudah mengatur sanksi bagi mereka yang melakukan kecurangan, yang tertuang pada Perpres No. 82 Tahun 2018 yang menyebut sanksi bisa bersifat administratif hingga mengakhiri kerja sama dengan faskes tersebut.

“Dalam Pasal 93 ayat (4) Perpres 82 tahun 2018 memungkinkan untuk melaporkan fraud tersebut sebagai tindak pidana, tapi hingga saat ini BPJS Kesehatan tidak pernah melaporkan tindakan fraud sebagai tindak pidana,” kata Edy.

Pada Permenkes No. 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan fraud, katanya, sanksi administrasi dapat diikuti dengan sanksi tambahan berupa denda yang diberikan kepada pihak yang dirugikan.

Selain itu, ujarnya, sanksi tidak hanya pada lembaga. Pada Pasal 6 ayat (5) Permenkes 16 Tahun 2019 menyatakan jika ada kecurangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, penyelenggara pelayanan kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan, maka mereka dapat sanksi administratif dan dapat diikuti dengan pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Edy juga meminta langkah preventif agar tidak terjadi fraud. Dia menyarankan kepada BPJS Kesehatan agar melakukan komunikasi dengan pasien sehingga informasi dari pasien dapat mencegah fraud.

“Dengan membangun komunikasi dengan pasien maka phantom billing akan sulit terjadi,” ujarnya.

Phantom billing adalah klaim atas layanan yang tidak pernah diberikan.

Selain itu, katanya, BPJS Kesehatan juga bisa meningkatkan kualitas verifikator sehingga dapat mengantisipasi fraud pada saat RS mengajukan klaim.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024